Sedari tadi, aku menggali beberapa momen sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya, aku tidak lupa. Hanya saja, aku bingung menjelaskan memori apa yang kiranya begitu mengena.
Kala itu, aku dan teman seperjuangan sedang disibukkan dengan tugas akhir kuliah. Banyak rencana yang sudah dirancang bersama, meski kenyataannya ... di ujung cerita, jalan yang ditempuh tidak sama. Aku dan mereka masih sama-sama naif saat itu. Ada beragam mimpi yang akan digapai. Namun, dalam perjalanan yang ditempuh, langkah itu kerap menemui jalan buntu.
Satu hal yang masih kuingat dengan jelas ketika sepulang kuliah, aku dan teman-teman dekatku duduk bersama di depan gedung kelas, di rerumputan dengan posisi melingkar. Seolah-olah, ada satu sinyal yang memberi tanda bahwa kami harus saling berdekatan.
Di tengah perbincangan seru itu, ada salah satu teman kami berucap, "Ayo sebutkan! Dalam waktu lima tahun ke depan, kita ada di mana dan menjadi apa?"
Aku dengan percaya diri menjawab, "Aku, sih, ikut suami, ya. Mau di mana pun, ayo aja, asal sama-sama. Untuk menjadi apa, itu dipikirkan sambil jalan nanti."
Keyakinan diriku yang begitu tinggi itu bukan tak berdasar. Pasalnya, ada yang sudah menjanjikan pernikahan selepas wisuda. Namun, wisuda menurut versi lelaki yang enggan kusebut namanya itu berbeda denganku, yaitu wis udah. Artinya, habis sudah semua perkara. Habis pula harapan-harapan yang diikrarkannya.
"Kita udahan saja, ya! Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini. Ada banyak hal yang kurasa nggak cocok. Kamu banyak ngalahnya kalau sama aku. Padahal, aku maunya kita tuh saling mengandalkan. Kamu boleh, kok, kalau mau protes saat ada yang nggak pas dengan sikapku. Selama ini, kamu selalu nurut apa aja mauku. Padahal, dengan pasangan itu seharusnya ada kesalingan, biar imbang. Perempuan juga perlu punya prinsip yang kuat dan aku maunya yang mendampingiku kelak adalah ia yang nggak mudah terombang-ambing dengan keputusan orang lain. Ia harus yakin dengan dirinya sendiri, bukan kayak kamu yang bisanya angguk-angguk doang."
Sepuluh tahun yang lalu menjadi awal mula patah hati berulah. Yang tentunya, butuh bertahun-tahun lamanya untuk kembali percaya pada cinta dan segala macam risikonya. Aku memang salah. Jiwa labilku yang membuat semua rasa yang membumbung kian bermasalah.
"Aku tahu kalau aku salah, tapi ... apa nggak ada lagi kesempatan buatku memperbaiki hal-hal yang nggak tepat pada diriku itu?"
Kala itu, aku sudah berusaha untuk berubah. Aku meminta waktu perlahan, memperbaiki serangkaian kesalahan. Namun, tidak ada lagi harapan yang aku dapatkan.