Sepasang mata itu menatap nanar pada gemerlap lampu di jalanan. Pikirannya kosong. Seakan-akan, ada beban yang teramat berat yang memenuhi pikiran.
"Nania, kok, ngelamun?" tanya Haris---sang suami, yang baru saja dari toilet dan kini duduk di sebelah perempuan itu.
Nania hanya menggeleng lemah dan menjawab singkat, "Ngantuk."
Haris memilih diam sembari berbincang sejenak dengan sopir travel yang akan membawanya ke kampung halaman istrinya. Meski penasaran, Haris tak lantas menyalurkan banyak tanya pada Nania. Sebab, ia paham kalau sedang seperti itu, tandanya, Nania sedang tidak ingin diganggu.
Di lain sisi, mata Nania mendadak panas, seperti ada lava yang akan segera tumpah pada dua bola mata sendunya itu. Nania teringat beberapa tahun yang lalu, kala ia sedang di perjalanan pulang seperti saat ini.
Kala itu, belum sempat mobil membawanya menjauh dari tempat tinggalnya, perasaan tak enak menggerogoti, di hape suaminya terdapat satu pesan dari salah seorang anggota keluarga yang menanyakan perihal kepulangannya. Padahal, jelas-jelas sampai di tempat tujuan juga belum. Nania merasa seakan-akan tidak diperkenankan untuk pulang.
"Baru tiga bulan lalu juga pulang, to? Lagian saat ini keluarga pada ngumpul di rumah, nanti nggak bisa ketemu lagi kalau telat balik ke sininya. Biasanya, kan, suka molor. Mbok, ya, hargai yang di sini."
Kata-kata itu dan sepenggal kalimat serupa terus terbayang di benak Nania. Sampai suatu ketika Nania tidak berani mengutarakan keinginannya untuk pulang ke tanah kelahirannya saat neneknya berpulang.
Sungguh, sebaris trauma itu masih ada. Takut dibilang bentar-bentar pulang. Takut terus-terusan dikatakan menghabiskan uang suami lagi karena dipakai untuk ke sana-sini. Padahal--- Ah, Nania tak siap melanjutkan cerita. Kini, ia lebih suka memendam semuanya sendirian, karena terlampau lelah disalahpahami.
"Ikuti alurnya sajalah." Nania pun pasrah. Menjelaskan pun percuma, tidak akan ada yang memahami perasaannya.