Pagi ini tak banyak aktivitas yang kulakukan. Selain rutinitas menyiapkan hidangan untuk keluarga dan berbagai keperluan untuk anak tercinta. Cuaca di luar begitu cerah. Aku sungguh menikmati semilir angin yang menerpa. Terkadang, ada rasa bosan yang hinggap ketika diri hanya mematung di dalam rumah saja.
"Sekali-kali nimbrung sama mereka boleh juga, nih. Mumpung sudah beres semua pekerjaan rumah," ujarku ketika melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang bercengkerama di depan rumah salah satu tetanggaku.
Kugendong anakku dengan selendang berwarna maroon kesayanganku. Kuhampiri ibu-ibu yang tampak serius di dekat pintu. Namun, belum sempat aku duduk dengan sempurna, ada seorang ibu berkacamata kuda memberikan celetukan khasnya. Pedas. Sepedas cabe satu kilo.
"Sayang, ya ... udah sekolah tinggi, biaya selangit, tetap saja hidupnya berkutat di dapur," ucap ibu itu dengan nada sinisnya.
Lambemu, Bu!
Kalkulasi macam apa ini? Kalau anak sarjana berurusan dengan dapur segitu hinanya, kah? Nyatanya, bagi seorang istri yang sekaligus menjadi seorang ibu, menyajikan menu terbaik adalah suatu kebanggaan. Agar selera makan suami dan anak tergugah jika di rumah. Kalau bagiku, harapannya, agar ketika ada jarak nantinya, masakan rumah akan menjadi sajian utama yang paling dirindukan.
Memang benar adanya bahwa menurut segelintir manusia, pandangan terhadap orang yang sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dengan label sarjana adalah aib. Aku heran. Padahal, itu semua tentang prinsip hidup yang diambil. Apalagi jika ada alasan pasti yang turut menyertai. Lagi pula, tidak masuk kategori dosa besar, kan? Jadi, seharusnya tidak perlu diperdebatkan.
Begitulah makhluk Tuhan yang bernama insan. Ada saja yang mereka jadikan topik utama sebagai bahan pergunjingan. Otakku belum saja mencerna dengan sempurna perihal pernyataan menyesakkan sebelumnya, ada lagi ini celetukan lain yang tidak kalah dahsyat. Kali ini dari seorang ibu muda berambut pirang yang berada tepat di sampingku.
"Itu istrinya Bapak Guru yang rumahnya di dekat gang sana, bisanya ngabisin duit suaminya saja," ucapnya dengan raut muka mengejek.
"Nggak kasian sama suaminya, ya, Jeng! Pontang-panting sendiri," yang lain pun turut menimpali. "Maklum, ya! Pengangguran. Nggak kayak kita-kita yang banyak kerjaan."