Lihat ke Halaman Asli

Ella Yusuf

Tukang Kebun

Rin (Chapter 3 of 5)

Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan buku tebal memenuhi kotak-kotak panjang lemari kayu. Kalau di dalam buku, lemari seperti ini akan punya satu buku bohongan yang bisa diputar agar kau bisa masuk ruang rahasia.

Di sisi kanan terdapat meja panjang besar dengan 3 boneka karakuri. Mereka pemanah, penulis, dan pemukul gong. Tuan besar pasti sangat menyukai boneka-boneka itu karena ia menempatkannya dengan rapih di dalam box kaca.

“Kalau saja saya tahu bahwa Anda ingin saya mengurus cucu Anda sebagai istri...” Kucengkram gelang ibu kuat-kuat. Perkataan tuan besar barusan menjelaskan alasan mengapa tuan muda membenciku. Siapa yang suka dijodohkan dengan anak kampung? Lagipula, hal besar seperti menikah butuh banyak pertimbangan... seperti rasa cinta contohnya.

“Kupikir kita sudah saling menyetujui. Aku akan urus bibi dan keluargamu, dan sebagai gantinya kau bersedia mendampingi Hiro,” Mata tuan besar memancarkan kesungguhan. Apa ia benar-benar serius dengan niatnya? Apa ia tidak bisa membaca situasi saat masuk tadi? Aku jelas tidak disukai.

“Anda tidak pernah bilang kalau Tuan Hiro sudah sebesar itu...” kudengar suaraku serak. Ikatan kedua seaglass gelang ibu sudah longgar, aku harus mengganti tali raminya nanti. Tuan besar menghela nafasnya, ia menyesap anggur perlahan. Tak pernah terpikirkan olehku kalau ternyata kakek renta yang kutemui di pesisir teluk ini adalah orang besar.

Andai aku tahu kalau bayaran awalku sangat besar hingga bisa melunasi seluruh biaya rumah sakit dan pekerjaan yang dimaksud adalah menjadi istri seseorang, mungkin aku akan menolaknya. Atau paling tidak mengusahakan jalan lain jika keadaan bibi memburuk.

“Kau benar-benar tidak ingin? Tak bisakah kau menjaga cucuku?” ia menatapku lekat. Wajahnya masih tersenyum, tapi Tuan terlihat sama sedihnya ketika kali pertama kami bertemu di pantai.

Ya, aku ingat betapa seluruh kisah gila ini diawali dengan tatapan itu. Kami bertemu di pinggir Teluk Toyama. Saat itu aku dalam perjalanan pulang dari tambak. Ketika hendak melewati jalan setapak pesisir, aku melihat seorang kakek duduk kelelahan di beton pembatas. Ia terlihat pucat dan hanya menatap sedih ke arah jalan. Karena khawatir, aku menghampiri kakek tua itu, dan benar saja... si kakek tengah tersesat. Ia tak tahu caranya kembali ke penginapan. Kala itu dengan perasaan bimbang, aku menawarkan diri untuk mengantarnya. Bukan aku tak benar-benar ingin mengantarnya ke penginapan, tapi aku ragu apakah nantinya ia mencurigaiku. Namun di luar dugaan, setelah kujelaskan dimana aku tinggal ia langsung menyambut niatku dengan ramah. Malam itu kami berjalan beriringan. Aku menemaninya melalui jalanan menanjak menuju penginapan. Sekali-kali kami beristirahat.

Selama perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal. Ikan, pemandian air panas, dan semua fakta tentang cumi-cumi. Si kakek terlihat senang ketika aku menceritakan asal-usul cumi berpendar yang menghiasi bibir pantai Toyama. Cukup senang sampai ia memintaku untuk menemaninya jalan-jalan esok harinya.

Selama seminggu penuh kami saling bercerita hingga suatu saat ia mengetahui masalahku dan menawarkanku pekerjaan sebagai penjaga cucunya di Tokyo. Karena saat itu ia menawarkan pembayaran di muka sehingga aku bisa membayar biaya rawat inap bibi. Butuh 4 hari sampai aku menerima tawaran itu, butuh empat hari setelah kuketahui bahwa bibi harus dioperasi. Jadi, di sinilah aku sekarang. Berhadapan dengan si kakek yang ternyata punya banyak uang dan memintaku untuk jadi istri cucunya.

 “Tapi tuan...”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline