Lihat ke Halaman Asli

Ella Yusuf

Tukang Kebun

Penunggu Perpus Universitas Malang

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14145745941810918384

[caption id="attachment_350646" align="aligncenter" width="579" caption="www.gothic.stir.ac.uk"][/caption]

Selamat sore Kompasiana, perkenalkan nama saya Lastri. Saya mahasiswa fakultas Sastra Universitas Malang dan ini adalah cerita janggal yang saya alami beberapa bulan yang lalu.

Cerita saya berawal dari perpustakaan universitas tempat saya belajar, Universitas Malang.

“Las, kamu jadi kebut paper hari ini?” tanya Sarah, salah seorang kawan yang juga belajar Sastra Indonesia seperti saya.

“iya, nanti aku kerjain di perpus,” sahut saya saat itu, sambil memasukkan buku catatan ke dalam tas. Kawan saya mengangguk dan meminta saya untuk menunggunya karena kebetulan ia juga ingin kebut paper usai mengurus blanko bayaran semester. Saya pun menyetujuinya. Saat itu jarum pendek di jam tangan saya baru mengarah ke angka 4, jadi saya putuskan untuk pergi ke kantin sebelum akhirnya bertemu kawan di perpus.

Setelah mengisi perut di kantin dengan beberapa kawan lain, saya akhirnya menggontaikan langkah kaki ke perpustakaan.

Las,

Kamu rencana sampai jam berapa di perpus? Aku ada yg mesti diurus di kost jd mungkin jam 5 baru di sana.

Kawan yang tadi meminta saya untuk menunggunya di perpus mengirim pesan. Karena saya memang berencana untuk mengerjakan hingga larut, jadi saya beritahu dia bahwa saya akan di perpus sampai malam.

Sesampainya di perpustakaan, saya pun mulai mencari bahan refrensi tugas. Pada saat-saat UAS seperti ini, banyak mahasiswa yang datang ke perpustakaan untuk menyelesaikan papernya jadi tak jarang perpustakaan baru ditutup pukul 10 malam.

Setelah lama larut dengan tumpukan bahan refrensi, akhirnya kawan saya tiba.

“Maaf Las, tadi mesti balik dulu ada urusan,” jelasnya begitu ia duduk di bangku depan.

“iya, ndak papa, kamu langsung cari bahan aja udah mau maghrib,” jawab saya lalu melanjutkan tugas yang sedang saya garap. Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang, karena menganut agama islam, saya pun segera beranjak dan meminta diri pada kawan untuk sholat di Mushola. Ya, saya harus berjalan sendiri ke mushola karena kebetulan Sarah, kawan saya ini beragama nasrani. Di jalan ke arah pintu perpus, saya bergabung dengan sekumpulan mahasiswa yang juga ingin menunaikan sholat, bedanya, mereka semua sudah menggendong tas masing-masing karena usai sholat, mereka akan langsung pulang.

Kampus sudah mulai gelap begitu saya kembali dari mushola, bangku-bangku perpustakaan pun mulai kosong karena banyak mahasiswa telah menyudahkan urusannya.

“Masih banyak Sar?” tanya saya pada Sarah begitu sampai di bangku, ia mendongak dan mengangguk, “iya, tenggatnya Selasa depan ya, pusing...”

Mendengar keluhan putus asa Sarah, saya pun tersenyum lalu menggodanya, “yowes, kita di sini aja sampai pagi, gimana?” mendengar candaan saya, Sarah pun tertawa sambil bergumam, “bisa... bisa...”

Setelah puas saling goda, kami berdua kembali larut dengan paper masing-masing. Sesekali saya pergi ke deretan rak mencari bahan tambahan yang diperlukan, begitu pula Sarah. Waktu berjalan cepat hingga tak terasa jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Selain kami berdua, hanya ada satu mahasiswa lain yang duduk di bangku pojok.

Karena ingat kalau saya belum sholat isya, saya pun kembali meminta diri pada Sarah dan kembali ke mushola. Sebenarnya agak iseng karena harus berjalan sejauh 2 blok sendirian, tapi karena ini untuk ibadah jadi apa boleh buat. Dengan setengah berlari saya bergegas menyusuri lorong kosong. Usai menunaikan sholat, saya pun kembali ke perpustakaan. Baru saja saya hendak berjalan cepat menuju perpus ketika tiba-tiba saya berpapasan dengan penjaga perpus.

“Pak, mau sholat ya? Anter saya lewatin lorong ini dulu pak,” pinta saya, memohon. Si bapak penjaga perpus tersenyum lalu menangguk. Ia pun menemani saya melewati lorong yang tadi sempat membuat saya merasa agak iseng.

Sesampainya di perpus, saya berterimakasih lalu berjalan gontai menuju bangku saya dan Sarah. Namun, sesampainya di bangku Sarah tidak ada di tempat, sebagai gantinya justru mahasiswa yang tadi saya lihat di pojok kini duduk menunduk tepat di samping bangku say. Saya lemparkan pandangan ke semua penjuru ruangan, Sarah tak terlihat dimana-mana. Merasa agak bingung, akhirnya saya bertanya pada mahasiswa yang baru bergabung di meja kami.

“Mas, teman saya dimana ya?” hening. Ia tak menjawab. Kawan baru kami masih terus menekuri buku yang sedang dibacanya.

“Ehhem, Mas?” akhirnya ia mendongak menatap saya lalu mengalihkan pandangannya ke pintu keluar lalu menunjuk ke  arah itu. Saya pun berterimakasih setelah menggumamkan kata “oh”. Tas dan tugas Sarah masih di tempatnya, jadi mungkin ia keluar untuk membeli camilan karena kebetulan kami berdua belum makan malam.

Saya pun duduk di bangku saya tadi dan kembali tenggelam dengan paper saya. Baru 5 menit berjalan, tiba-tiba ponsel saya bergetar.

Kamu mau roti?

Benar. Sarah sedang cari makan. Saya menjawab pesan Sarah lalu terlonjak dengan pertanyaan,

“belum pulang?” akhirnya sang penjaga perpus mengeluarkan suara. Saya menoleh, wajahnya masih fokus ke buku, saya pun menjawab, “belum, belum selesai soalnya,” lalu kembali hening.

Tak lama kemudian Sarah kembali dengan kantong berisi susu dan roti.

“maaf lama, aku tadi ketemu Aris,” sapa Sarah lalu duduk. Ia menatap saya dengan raut bertanya, setelah melirik ke arah kawan baru kami, karena tidak tahu siapa orang ini, saya pun mengangkat bahu.

Akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengambil pusing soal kawan baru yang tiba-tiba bergabung di meja kami dan menyantap roti sambil sesekali membolak-balik sumber refrensi. Ketika sedang serius, tiba-tiba bolpoin Sarah tersenggol dan berguling ke sisi kaki saya. Saya hendak mengambilnya tapi akhirnya saya tak sengaja melihat sesuatu yang hingga kini bisa membuat bulukuduk saya berdiri. Saya melihat bahwa bokong kawan baru kami tidak menyentuh bangku. Ia melayang. Saya buru-buru mengeluarkan kepala dari kolong meja lalu sedikit mencuri pandang ke arah mahasiswa itu lalu teringat bahwa sedari tadi saya belum melihat ia membalik halaman bukunya. Seketika dengkul saya terasa lemas.

“Sar, kita lanjutin besok yuk,” ajak saya ke Sarah dengan suara sedikit gemetar. Sarah mengangkat alisnya, lalu menyahut, “sepuluh menit lagi saja,” saat itu jantung saya seperti jatuh ke perut, karena sepertinya akan sulit membuat Sarah untuk segera keluar Perpus. “aku mau pulang sekarang udah kemaleman,” sahutku pada Sarah, aku mulai terdengar panik karena kawan baru kami mulai menoleh dan menatap saya. Ia menatap saya untuk waktu yang cukup lama lalu berkata,“kamu mau pulang karena kemalaman, atau karena sudah tau?”

Setelah itu tanpa pikir panjang, saya langsung menyambar paper, tas saya dan Sarah lalu menarik Sarah berlari ke arah pintu keluar.

Sesampainya di luar saya menjelaskan apa yang saya lihat pada Sarah, setelah mengetahuinya mata ia membelalak, menurut Sarah penjelasan saya menjawab pertanyaannya mengapa bau tanah basah tercium ketika ia kembali.

***

*Kisah ini dibuat berdasarkan kisah urban legend yang tersiar tentang penunggu perpus Universitas Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline