"There will be a time when we can eat together
When we will build homes out of abandoned tanks
Peace is a rusted recoil
We will sip from the cups made of old grenades
And shades of green are only worn by nature
There will be a time when the fences choose to sit with us
Instead of standing between us" --Amal Kassir
Sumayyah menghitung jarak dari balik pintu ke reruntuhan besar di seberang. Ia mengintip dari retakan tembok rumah singgahnya. Jantungnya berdetak keras, peluh melesat bergantian turun dari dahi dan punggung. Kerongkongannya kering.
Angin malam bertiup lirih menerbangkan debu dan akar rumput yang sudah tercabut. Namun bukan itu yang membuat ujung jari kaki Sumayyah membeku, melainkan pemandangan yang ia lihat sekarang.
Sekurangnya ada 20 orang berseragam mengangkat ruffle. Dua orang di antara mereka menodongkan moncong senjata mereka ke warga tak bersalah. Ia tak mendengar apa-apa, tapi Sumayyah tau mengapa mereka ke sini.
Perempuan itu tertegun, ia menghitung.
"Ada satu cara..." ejanya dalam hati.
Ia hanya punya satu kesempatan.
"Hanya satu, dan harus berhasil," ulangnya pada diri sendiri.
Sumayyah menutup matanya, ia sebutkan nama Dzat yang selalu ada dalam doanya.
"yaa Rabb, jadikan ini batu kami yang terakhir... Batu yang dengan izinmu, bisa membuka jalan kami untuk pulang... "
Ia tarik nafasnya dalam-dalam, lalu ia merangkak ke sebrang perlahan.