Berilmu Itu Juga Perlu Adab
Semakin luas dan dalam ilmu yang dimiliki oleh seseorang, semakin sedikit pula ia dalam berbicara. Sedikit berbicara menunjukkan kehati-hatian orang berilmu agar tidak asal bunyi. Singkatnya, diperlukan ilmu sebelum berbicara dan beramal (al-'ilmu qabla al-qauli wa al-'amali).
Berilmu itu tentu berbeda dari sekedar tahu atau informasi. Ilmu adalah pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin sering menjumpai orang yang baru mendapat informasi tetapi sudah merasa berada di level orang yang memiliki pengetahuan dan bersikap bagaikan orang banyak tahu. Ada pula orang yang baru mendapatkan pengetahuan tetapi sudah berlagak seperti banyak pengalaman dan merasa seperti orang bijak yang hidupnya paling matang (Muslih, 2018).
Banyak orang yang sebenarnya belum berilmu atau belum begitu mendalam ilmunya kemudian tampil dipublik, berlagak seperti orang yang sangat 'alim, faqih, dan mumpuni serta menjawab setiap pertanyaan atau memberikan fatwa pada hal-hal yang sebenarnya ia sendiri belum menguasai. Dalam kacamata orang awam, orang-orang seperti itu akan dinilai sangat pandai. Sebaliknya, dalam pandangan orang yang benar-benar pandai, orang-orang tersebut kelihatan jelas kebodohannya. Tentu ini bukan bermaksud menghalang-halangi atau mencemooh setiap orang yang menyebarkan ilmunya, tetapi lebih menekankan untuk menyampaikan hal-hal yang memang benar-benar diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan saja.
Pesatnya perkembangan informasi dan teknologi selain membawa manfaat dan kemudahan bagi kehidupan nampaknya juga memunculkan orang-orang yang berlagak banyak tahu. Entah apa motivasi pribadinya, yang jelas pola pikir mereka di tengah-tengah masyarakat justru mengoyak ketenangan yang selama ini diupayakan dan dijaga.
Pemandangan ini kontras sekali jika kita memperhatikan sikap para kyai atau tokoh yang mendalam ilmunya, mereka sangat berhati-hati dan bijak saat menyampaikan serta mendidik masyarakatnya. Tak jarang jika mereka ditanya mengenai suatu persoalan tertentu oleh masyarakat, mereka tidak menjawabnya, mereka menyuruh penanya tersebut untuk bertanya kepada tokoh atau kyai yang lain. Tentu ini bukan soal bisa atau tidak bisa menjawab, tetapi soal rendah hati dan menghormati tokoh atau kyai yang lainnya yang dianggap lebih alim yang ada di wilayah tersebut.
Prof. Dr. M. Quraisy Syihab pernah menyampaikan bahwa salah satu adab orang berilmu adalah tidak menjawab sebuah pertanyaan yang sebenarnya ia tahu jawabannya manakala di tempat tersebut ada orang yang lebih berilmu darinya. Itulah nasihat berharga dari seorang cendikiawan terkemuka di negeri ini, meski dalam penerapannya tetap harus memperhatikan konteks yang mengitarinya.
Slogan "adab di atas ilmu" memang sering diperdengarkan, tetapi nampaknya slogan tersebut sangat jarang direalisasikan. Banyak orang awam yang merasa paling berilmu kemudian mudah sekali menuduh pihak lain salah hanya karena ada hal-hal yang tidak sama dengan yang diketahuinya. Padahal jika ia mau jujur dengan diri sendiri, di luar sana sebenarnya masih banyak hal-hal yang belum ia ketahui. Mari bersemangat menimba ilmu biar tidak menjadi "Tong kosong nyaring bunyinya!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H