Lihat ke Halaman Asli

Nur Kolis

Saya adalah seorang pembelajar dan pengembara

Menumbuhkan Sikap Toleransi

Diperbarui: 25 Agustus 2022   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menumbuhkan Sikap Toleransi

Saling menghormati adalah sikap mulia yang sudah semestinya dijunjung tinggi dalam hidup bermasyarakat. Pilihan-pilihan yang berbeda satu sama lain atas buah pemikiran para ulama (madzhab) tak seharusnya menjadikan kita saling menjauhi dan atau bermusuhan. Sebab dalam perkara pemahaman fiqh, adanya ragam perbedaan pendapat (ijtihad) di antara para ulama adalah hal yang sudah lumrah.

Sebagai contoh, jika kita menelaah kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd atau kitab Tafsir Ayat al-Ahkam karya Muhammad Ali ash-Shabuni, kita akan menemukan macam-macam pendapat para ulama dalam satu pembahasan. Setelah mengetahui ragam pendapat para ulama yang ada di kitab tersebut, kita boleh saja memilih pendapat mana yang kita anggap lebih kuat. Begitupun dengan orang lain, mereka juga bebas memilih pendapat mana yang menurut mereka lebih relevan untuk diamalkan. Masing-masing ulama memiliki pertimbangan (hujjah) ketika mengeluarkan pendapat atau pemikirannya. Hal inilah yang harus mampu kita sikapi dengan bijaksana.

Upaya memaksakan untuk menyamakan pendapat fiqh yang beragam itu adalah upaya yang salah. Sebagaimana diungkapkan oleh Edi Ah Iyubenu dalam buku Berislam dengan Akal Sehat (2020) bahwa perbedaan pendapat fiqh adalah hal yang logis, alamiah dan niscaya. Oleh karenanya upaya memanunggalkan fiqh adalah sikap yang salah, memicu masalah dan tercela.

Di era sekarang ini hampir setiap orang menggunakan media sosial dalam kehidupannya sehari-hari. Berbagai konten yang tersaji, baik itu konten informasi, materi keilmuan umum hingga materi-materi keislaman bisa diakses dengan mudah  oleh siapa saja.

Materi-materi pemahaman keislaman, khususnya mengenai fiqh yang tersebar di media sosial sangatlah beragam. Di satu sisi, hal ini merupakan hal yang positif karena bisa memperluas khazanah keilmuan. Tetapi di sisi yang lain, khususnya bagi orang yang berpikiran jumud atau tidak siap melihat pendapat yang beragam, hal ini akan menimbulkan kebingungan tersendiri dan bahkan akan muncul sikap mudah menyalahkan terhadap hal-hal yang tidak sama dengan apa yang ia ketahui sebelumnya. Padahal bisa jadi ia tidak mengetahui dengan teliti jika hal-hal yang berbeda dengannya juga memiliki landasan (hujjah) yang bisa dipegang.

Saya pernah membaca beberapa komentar atas sebuah postingan di media sosial mengenai persoalan memakai cadar bagi perempuan. Komentar-komentar itu tidak ada faedahnya sama sekali karena sangat jauh dari ilmu dan adab. Bagaimana tidak, setiap orang yang berkomentar berusaha memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Tak jarang pula, ungkapan merendahkan personal lawan bicara dan saling mencaci dilontarkan masing-masing pihak.  

Ada perempuan pemakai cadar yang begitu menyayangkan dan keberatan terhadap teman perempuannya yang tidak memakai cadar seperti dirinya. Menurutnya, perempuan yang tidak memakai cadar itu bisa menimbulkan fitnah karena kecantikannya bisa dinikmati oleh banyak laki-laki. Ia ingin semua perempuan yang menjadi temannya memakai cadar. Sebaliknya, ada juga beberapa orang yang mempersoalkan perempuan-perempuan yang memakai cadar. Mereka dengan gampang dan asal-asalan memberikan stigma negatif bagi perempuan yang memakai cadar. Contoh stigma negatif tersebut di antaranya adalah anggapan bahwa perempuan yang memakai cadar itu anti sosial, radikal, tidak nasionalis, dan berbagai anggapan buruk lainnya.

Beberapa contoh kasus yang saya tuliskan di atas menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang belum bisa bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat. Padahal persoalan mengenai batasan aurat perempuan muslimah sendiri sudah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak dahulu yang kemudian perbedaan-perbedaan pendapat tersebut berimplikasi pula pada hukum memakai cadar (Muhammad Ali ash-Shabuni, 2004).

Pernyataan mengenai perempuan muslimah yang tidak memakai cadar bisa menimbulkan fitnah tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena fitnah pada hakikatnya adalah soal pikiran baru kemudian tindakan. Seperti apapun perempuan berpakaian, terbuka lebar maupun tertutup rapat, jika pikiran laki-laki tidak kotor, keresahan sosial atau fitnah itu akan urung terjadi. Oleh karenanya, tertutup atau terbukanya pakaian perempuan tidak menjamin keresahan dan kejahatan sosial musnah. Ini penting, karena selama ini perempuan yang selalu dituntut introspeksi diri, tidak atau belum mengarah pada laki-laki (Said Aqil Siradj dan Mamang Muhamad Haerudin, 2015).

Jika ada perempuan yang memakai cadar terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum negara, maka tidak seharusnya membuat kita memukul rata atau menganggap bahwa semua perempuan yang memakai cadar tidak ada yang taat pada hukum negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline