Lihat ke Halaman Asli

Ijazah Kubro: Lisensi Doa dari Kyai Khannan Kwagean

Diperbarui: 27 November 2015   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari itu saya mendapat undangan dari teman NU kultural untuk menghadiri khaflah ijazah Kubro yang di adakan di pondok Fatkhul Ulum milik Kyai Khannan Kwagean. Awalnya saya tak menemukan ketetapan hati sampai ketika teringat oleh nasehat kyai di mana saya mondok dulu meskipun ingatan akan nasehat ini muncul dari kawan alumni: Gus Fanani Mojoagung. Beliau berpesan kepada seluruh santrinya agar kelak jika menjadi NU maka menjadilah NU yang baik dan jika menjadi Muhammadiyah maka menjadilah Muhammadiyah yang baik atau di selain dua duanya menjadilah yang baik plus menjadi perekat ummat serta berusaha untuk memahami dengan baik makna perekat ummat.

Kata sifat ‘baik’ yang menjelaskan organisasi-organisasi ummat Islam sangatlah umum dan mungkin terlalu abstrak . Untuk mempersempit makna ‘baik’ di sini saya mengambil contoh dari sosok KH.Idham Chalid yang menjadi santri beliau di masa masa awal pondok yang berada di kaki gunung Wilis ini berdiri. Saya fikir beliau adalah salah satu santri “assabiquunal awwalun” dengan sentuhan dari kyai kyai pendiri yang sangat idealis,bersahaja, penuh dengan ruh dan spirit perjuangan, kaya dengan filsafat hidup dan kehidupan. Dengan pelbagai persinggungan dengan nilai nilai agung dari Trimurti atu tiga Kyai pendiri disertai zaman dan lingkungan di bawah kolonial Belanda yang mendukung proses mengkristalnya nilai nilai ini dalam seluruh jiwa santri zaman itu maka lahirlah generasi generasi emas dari zaman itu. Idham Chalid muda di usia emasnya menggunakan segala potensi dan waktunya untuk memperdalam ilmu pengetahuan umum dan bahasa. Meski bahasa Jerman , Prancis dan Jepang tidak diajarkan di pondok tersebut namun bukan Idham Chalid namanya jika tak mampu menaklukkannya di sela sela waktu istirahat pondok yang memberikan waktu luang pada setiap hari bakda sholat Ashar dan setiap Jumat dimanfaatkan dengan mempelajarinya lewat buku buku di perpustakaan yang ada di jantung pondok.

Praktis , lima bahasa asing dikuasainya dengan fasih :Arab, Inggris yang menjadi bahasa wajib di pondoknya plus hasil otodidaknya: Jerman , Prancis dan Jepang. Dari lima bahasa itu, bahasa Jepanglah yang menjadi pintu masuk yang kelak membukakannya untuk menjadi orang yang kita kenal sekarang ini karna dari kefasihan dalam bahasa jepang dalam dialog sehari hari maupun untuk bahasa formal, penguasa kolonial Jepang yang berhasil menggusur Kolonial Belanda tertarik untuk merekrutnya untuk menterjemahkan beberapa pertemuan dan negoisasi antara Jepang dengan Kyai NU yang aktif merumuskan negara Indonesia merdeka. Persinggungan dengan Kyai NU ini lah pintu masuk yang sangat signifikan yang membesarkanya dalam politik meski NU adalah ormas namun Wikipedia sendiri juga mendefinisikan kendaraan politik Idham Chalid adalah NU.

Bukan dalam bahasa saja Idham Chalid ber-otodidak di luar bahasa yang ada di pondok, dalam hal spiritual sehari hari beliau mengamalkan kitab Dalailul Khoirot yang kontroversial karna serangan berdalih bid’ah dari para fundamentalis tertentu. Kitab yang berisi sholawat kepada baginda Rasulullah ﷺ karangan Sulaiman Al Jazuuli al Maghribi beliau jadikan bacaan wajib sehari hari yang karomahnya selain bisa menundukkan singa ghaib di kampung halamannya juga terbukti ampuh menundukkan semua kawan dan lawan politik nya dalam kurun yang sangat lama baik di intenal NU maupun di pemerintahan dari Sukarno sampai Suharto yang penuh dengan intrik intrik vulgar pada saat itu.

Toleransi beliau kepada sesama Muslim juga tak kalah epicnya. Tatkala perjalanan ke Makkah untuk berhaji kebetulan beliau sekapal dengan HAMKA yang menjadi sesepuh dari Muhammadiyah. Ketika giliran menjadi imam, beliau meninggalkan qunut shubuh demi menjaga solidaritas salah satu makmumnya ; Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka. Ini adalah teladan betapa Ukhuwwah Islamiyaah harus tetap mengedapankan toleransi dalam hal khilafiah furu’ dari pada perdebatan yang tak berujung berakibat hilangnya energi ummat apalagi permusuhan seperti zaman kita ini. Meski masih sangat miskin parameter, saya memberanikan dengan sosok keteladanan beliau di NU untuk menerjemahkan kata ‘baik’ dari Kyai Trimurti sehingga memantapkan hati untuk memenuhi undangan untuk mengikuti Ijazah Kubro tersebut.

Alhamdulillah, sesi pertama dari ijazah ternyata menerangangkan kaifiat atau tata cara dari amaliah Dalailul Khoirot karangan AL Imam Sulaiman Al Jazuuly yang menjadi favorit dari KH.Idham Chalid kemudian disusul ratusan doa dari kitab yang lain. Bertindak sebagai Mujiiz adalah Kyai Khannan sendiri yang membukan ijazah dengan prakata :” Wong NU iku kudu sakti”. Atau dalam jiwa orang Nu harus penuh dengan doa dalam mengarungi bahtera kehidupan ini agar mendapakan pertolongan Allah swt karna haqiqat doa adalah tulang sumsum dari ibadah dan ujian fitnah kehidupan ini selalu mengitari kita selam hayat dikandung badan.

“Ya maasyirol Khadhirin wal khadhirot, muslimiin wal muslimat...” beliau memanggil para pemohon ijazah.
“Labbaik!!.” Jawaban menggema dari lima ratusan orang yang memenuhi pondok untuk menerima ijazah.
“Ajaztukum wa ajaztukunna kitaba Dalailal Khoirot li Sulaiman AL Jazuuli Al Maghriby..”Kyai Khannan menyampaikan lafad ijazah.
“Qobiltu ijaazataka..” Jawab hadirin bergemuruh di dalam dan di pelataran pondok menerima ijazah ini yang kemudian ditutup dengan doa
Metode lisensi doa seperti ini ternyata oleh dunia barat dijadikan menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam hal kekayaan intelektual untuk menjaga hak hal pemiliknya dan memberikan batasan batasan dalam hal waktu maupun fungsi dari materi yang dilisensikan kepada “user” yang menjadi pihak yang menerima lisensi atau masuk dalam ranah term and condition untuk menghindari penggunaan di luar dari faidah dan manfaat materi licensi.
Ijazah Kubro dalam disiplin ilmu yang telah disistematikakan oleh dunia barat juga telah dibakukan dengan terma lisensi masal sedangkan term and conditionnya terangkum dalam EULA singkatan dari End User Licence Agreemen atau kesepakatan lisensi pengguna tingkat akhir yang tentu saja tidak berlaku pada ijazah doa maupun wirid karna setiap orang yang diijazahi bisa memberikan ijazah kepada orang yang dikenalnya walaupun dalam skope yang kecil sesuai dengan kapasitas keilmuannya.

Walkhasil, walaupuan tanpa ijazahpun tidaklah jadi soal karna berdoa kepada Allah hal yang privat. Namun dengan ijazah seperti ini kita dididik untuk menghormati orang yang datang sebelum kita sekaligus barokah yang Allah berikan dengan menghormati mereka adalah adalah kebaikan yang kamil dan ilmu yang berdaya guna sesuai dengan doa Ahlussunah Waljamaah dalam kitab maulidu addiba’i :
Robbi fan Fa'na bi Barkatihim Wahdinal khusna bi khurmatihim Wa amitna fi thorii qotihim Wa mu'afatin minal fitani

Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berdaya guna sebab berkah mereka dan tunjukkan kami kebaikan sebab kehormatan mereka.
Dan akhirilah hayat kami pada jalan mereka dan selamatkan kami dari segala macam cobaan.
Tambahan dari pada itu, jika dunia barat yang sangat sekuler dalam tataran dunia saja bisa menghargai hasil karya intelektual orang lain mengapa kita yang non Sekuler dan dan dalam urusan yang lebih dari sekedar duniawi malah berusaha melupakan pendahulu kita yang nota bene peletak dari pada doa doa yang berdaya guna untuk kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline