Lihat ke Halaman Asli

Sikapi Singkil: Nusron Wahid Sudah On Track, Tapi..

Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam salah satu reaksi atas pembakaran gereja di Sinkil, Nusron Wahid (Ketua GP Ansor) secara emosional merespon kasus ini dengan statemen yang sedikit agak melebar :

“Wong tempat ketemu Tuhan saja kok pakai izin dan dipersulit manusia. Sementara Tuhannya tidak pernah mempersulit," Ujar Nusron dalam siaran pers ke media pada Rabu 1 Muharram 1437 Hijriah

Pembakar gereja harus diperlakukan seperti pembakar Masjid di Tolikara. Jika di Tolikara tidak disebut Teroris maka yang kedua pun harus didefinisikan dengan terminologi yang sama dalam satu kerangka yang tidak jatuh dalam perangkap standar ganda. Perlakuan hukum juga tak boleh berbeda, jika pelaku Tolikara

Sesungguhnya, jika hukum ditegakkan dengan seadil adilnya sesuai dengan Pancasila dan Uud 45 maka itu sudah bisa menutup celah “radikalisme” karna bibit radikalisme sangat mungkin berasal dari tebang pilih yang dalam terminologi post modernisme ya standar ganda itu. Dan bisa saya katakan pelaku hukum dengan memakai standar ganda adalah radikalisme dalam naungan dasi.

Saya kira Nusron Wahid sudah cukup konsisten dan netral mengacu pada sikapnya dalam kasus Tolikara pada Idul Fitri 1436 Hijriah. Dia sudah keluar dari kharakter standar ganda dan itulah seharusnya sebagai tokoh muda NU. Dia telah memakai bahasa yang sama terhadap materi yang sama meski objek nya dari entitas yang berbeda. Konsistensinya ini perlu saya acungi jempol.

Hanya saja saya perlu menyorot secara speisifik statemen Nusron Wahid di atas yang mengaitkan kasus ini dengan masalah izin. Jika ini yang menjadi alasan maka saya setidaknya mengajukan “pledoi” secara khusus pada kasus ini. Tidak melebar ke masalah Singkil dan Tolikara karana itu jelas ranah hukum yang seperti saya utarakan harus tegas tidak boleh abu abu. Kita juga bisa bebas mempertanyakan bagaiamana para tersangka Tolikara diadili atau sekedar ‘dihilangkan’ ?. kita juga bebas mempertanyakan mengapa hanya pihak GIDI yang diundang untuk makan malam ke istana?? Mengapa yang mempunyai Masjid dibakar tidak juga diundang makan malam?? Akankah pelaku pembakaran gereja di Sinkil juga diundang ke Istana untuk makan malam??. Kita juga harus bebas mengimpeach negara kenapa istilah Terorisme tidak diberlakukan kepada pelaku pembakaran di Tolikara karna ini akan berdampak sangat luas dalam rentang luas dan waktu.

Pada masalah sulitnya izin tempat ibadah, saya berargumen dengan salah satu sumber hukum internasional yakni Traktat tidak tertulis atau perjanjian tidak tertulis yang berlaku di masyarakat Nasional maupun internasional. Dalam masyarakat kita, bukan hanya gereja yang sulit , masjid pun sulit di tempat di mana Muslim minoritas dan itu, meminjam bahasa KH. Hasyim Muzadi karana masalah lingkungan. Inilah yang saya maksud dengan perjanjian tak tertulis yang berlaku di masyarakat.

Namun, hukum Negara harus diatas konvensi yang mengacu perjanjian tak tertulis di masyarakat kita tanpa merendahkan satu sama lain. Kedua duanya bisa bersinergi agar negara tidak menindas rakyatnya tentu dalam hal ini konteknya adalah pendirian rumah ibadah.

Menurut pandangan saya , statemen Nusron Wahid terlalu emosional dan tendensius dalam kasus Singkil ini meskipun saya anggap sangat netral dan konsisten. Sedangkan untuk menyeleseikan konflik semacam ini harus dengan mengurai satu persatu dan bukan membabi buta menyalahkan satu fihak.

Penutup, saya perlu mengkritisi penggunaan domain mayoritas dan minoritas dalam menyikapi konflik horizontal semacam ini. Sudah waktunya kita mengeliminir penggunaan domain yang marjinal semacam ini, sehingga yang mayoritas harus selalu mengalah atau yang minoritas harus dimenangkan atau sebaliknya yang mayoritas selalu menang dan yang minoritas harus selalu dikalahkan. Ini masalah hak setiap warga negara yang melekat yang bahkan negarapun tak bisa sewenang menindas apalagi dengan memperlakukan satu fihak yang salah seakan terhormat di atas hamparan permadani istana dan fihak yang yang dizalimi justru hanya dibiarkan sesama saja yang membantu. Ini adalah radikalisme dalam balutan dasi.

Referensi :Wikipedia Convention (norm) | 2 Muharram 1437 Hijriah/15 Oktober 2015

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline