Alunan musik padang pasir begitu terdengar sayup-sayup dari kejauhan dibawa oleh kencangnya angin yang menuruni piramida Fir'aun yang megah itu. Sementara alunan azan terdengar berbisik di waktu matahari hinggap di peraduannya, tidurlah orang Yahudi ini di gubuknya yang reyot dengan sedikit terganggu oleh suara-suara di ingatannya dari Gubernur Mesir yang menginginkannya meninggalkan gubuk satu -satunya itu tadi siang .
"Tanahmu akan ku beli dengan harga 10 kali lipat..akan segera dibangun masjid di bekas gubukmu.." Sang Gubernur memangkas negoisasi yang alot dengan menaikkan harga beli terhdap tanahnya tersebut nampaknya terlalu percaya diri dapat 'membeli' keinginan Yahudi miskin ini.
"Maaf tuan, walaupun dengan harga itu saya tak akan meninggalkan tempat terakhir yang aku miliki tuan" Jawabnya dengan memelas.
"Apakah kamu tidak tahu bahwa itu akan dipakai untuk masjid demi kemaslahatan kaum Muslimin?." Gubernur itu nampaknya sudah naik pitam dengan 'kebaikan' yang ditawarkan namun ditolaknya.
" Walaupun untuk masjidpun tidak akan aku jual, gubuk itu sangat bernilai bagiku Tuan Gubernur.." Orang Yahudi itu nampaknya lebih baik menolak penawaran tinggi dari pada melihat "gubuk" riwayat itu dibongkar yang sungguh mempunyai ikatan emosional dari pada tumpukan harta yang akan dia dapat dari menjualnya.
"Hemm..baiklah kalau kamu keras kepala" Gubernur Mesir ini mempersilahkannya pulang dengan meletakkan jari telunjuk dan jari ibu menopang janggutnya..nampak jelas gubernur ini memendam kesal, merasa diremehkan dan amarah.
Tanpa terasa pagi cepat datang dan didengarnya suara derap kaki pasukan yang semakin mendekati gubuk tersebut , kemudian seorang dari padamereka mendekati Yahudi tersebut dan memberitahukan bahwa perintah pembongkaran paksa datang dari Gubernur Mesir untuk dibangun masjid yang mempunyai kepentingan lebih luas bagi kaum Muslimin dari pada gubuk ini untuk 'seorang Yahudi yang miskin".
Berdirilah dia memandangi pasukan-pasukan yang kuat -kuat mencabuti tiang-tiang gubuknya yang sudah rapuh dengan tangan-tangan mereka seakan mencabuti bulu ayam. Atapnya yang terbuat dari jerami berhamburan bersamaan dengan tercerabutnya tiang-tiang tersebut. Sesekali , dia berlari di bawah ketiak pasukan pasukan yang emosional merobohkan gubuk tersebut untuk menyelamatkan alat-alat masak yang masih bisa digunakannya ataupun selimut kumuh yang akan dia pakai nanti malam ketika sudah tidak bermalam di gubuknya.
Pasukan Gubernur sudah lama menyeleseikan 'tugas' tersebut namun siYahudi tetap berdiri terpaku di sisi agak jauh dari gubuknya menunggu bayang-bayang pasukan yang masih tertinggal di ingatannya. Dalam kesendirian dia hanya bisa mengadukan masalahnya kepada dirinya sendiri sampai akhirnya ilham Tuhan mengingatkannya kepada sosok Umar Bin Khottob yang adil dan bijaksana terkenal teliti dalam menyeleksi para pejabat dan tak segan segan memecatnya.
"Ya..Gubernur Mesir hanyalah bawahannya..saya pasti akan adukan ketidak adilan ini.." Nampaknya intuisinya yang tumpul tiba -tiba menjadi tajam karna keadaan yang memaksanya.
Tanpa memperhatikan persiapan yang memadai pergilah Yahudi ini menuju Madinah, kota di mana Umar Bin Khottob sebagai atasan Gubernur Mesir tadi tinggal. Perjalanan dari mesir ke Madinah secara umum memakan waktu tiga bulan dengan berjalan kaki.