Lihat ke Halaman Asli

Khof H

Penulis

Cerpen: Pandemi, Kami dan Hari Ini

Diperbarui: 24 Agustus 2021   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi : baktiNews

Untuk kamu yang masih berjuang terus berjuang dan berjuang lah. Hidup tidak lebih keras dari kerikil panas jalanan yang selalu Mereka tapaki untuk sesuap nasi. Menyisipkan pundi-pundi Rupiah yang tidak sedikit untuk biaya pendidikan dan hal penting lainnya. 

Benar adanya jika berat kehidupan dipikul sendiri kata menyerah pasti terselip di dalamnya. Aku ingin menyerah saja. Aku tidak kuat. Maafkan aku. Tuhan bantu kami, jangan biarkan langkah ini berhenti karena belati sudah tertanam jauh kerelung hatiku. Aku frustasi.

Melihat mereka berangkat meraih rezeki dari Sang Ilahi pagi buta sekali selalu menggangguku. Terlahir dari keluarga miskin garis petani membuat aku harus benar-benar berjuang untuk segera keluar membawa keluargaku dari Kungkungan garis ekonomi yang sudah jauh tertinggal. 

Ini tahun ketiga untukku mengadukan nasib mencari perspektif baru lingkungan nyata untuk perjalanan yang sudah ku tempuh. Hanya beberapa orang saja dari Desaku yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan aku sangat bersyukur berkesempatan dalam salah satunya. Dedikasi yang sangat tinggi ku persembahkan akan kehebatan orang tuaku. Meskipun tertatih dalam himpitan ekonomi garis bawah. Tetap bersedia ikut menambah beban yang sudah terlanjur berat untuk kembali pukul demi anak-anaknya. 

Pendidikan sangat penting tapi bukan karena itu aku menyukainya. Proses dalam pendidikan ini yang membuat aku selalu ingin berada dan terus ingin meraihnya. Menurut ku orang yang menyukai pendidikan belum tentu suka dengan sekolah. Tapi orang yang menyukai sekolah sudah terlanjur nyaman dengan pendidikan dan aku tidak suka sekolah. Bukan karena guru dan lingkungannya. Tapi ini tentang sistem yang menaunginya membuat tidak nyaman saja. Tidak ada kejelasan dan parahnya membunuh jiwa-jiwa merdeka dengan peraturan yang tidak masuk akal, meski hanya beberapa tapi pasti kau jumpai. Membunuh karakter. 

Ironisnya cobaan yang menimpa seluruh negeri di dunia merasakan guncang maha dahsyat. Pandemi Covid-19. Aku tau betul semua memang merasakan guncang, tapi guncang yang bagaimana? Sebagian kelompok merasakan guncang yang membuat namanya menjadi jajaran orang terkaya dunia beriringan dengan keterpurukan ekonomi kelompok lainnya. Termasuk kami. Kami masuk dalam garis depan keterpurukan ekonomi itu bersama saudara senasib walau tak sepenanggungan. 

Hari ini, sayatan kesakitan sudah tak bisa terpendam lagi. Aku merasa sangat menjadi beban yang amat sangat berat dalam situasi ini dengan biaya pendidikan yang harus orang tuaku berikan. Aku bukan anak cerdas yang mendapatkan prestasi dan beasiswa. Aku hanya anak petani yang ingin berpendidikan dan orang tuaku siap diberatkan menanggung beban biaya yang tidak sedikit itu. Membuat aku berada dalam ketidakjelasan dalam merasa. 

Pertama, aku sangat bahagia dan merasa senang akan sambutan baik dari orang tuaku. Lantas, selanjutnya...bisikan jahat datang mengiringi langkahku. 

"Nadira, kamu benar-benar egois. Mementingkan diri sendiri. Bersenang-senang atas kesusahan orang tua."

Sungguh... kalimat itu sangat terngiang di telingaku hingga saat ini. Aku merasa jahat. Lagi pula aku belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tuaku. Lantas aku harus bagaimana? Meninggalkan ini semua? Membuat yang orang tuaku korbankan menjadi nyata kesia-siaan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline