Lihat ke Halaman Asli

Aku Mencintaimu Apapun Konsekuensinya

Diperbarui: 18 November 2015   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Aku punya sedikit perasaan kepadamu, aku sudah mencegahnya dari awal. Tapi pada akhirnya harus seperti ini,” katamu beberapa waktu yang lalu.

Setelah perbincangan yang menyedihkan itu memulai kisah asmara kita, ada banyak kecemasan yang menghantuiku. Beberapa larik sms darimu selalu kupandangi setiap malam, beharap dengan mudahnya kalimat menyenangkan itu kembali hadir. Aku merindukanmu sedalam ini, tapi kamu pura-pura tidak peduli. Setidaknya itu yang kutangkap darimu; kamu tidak ingin memperpanjang kerumitan cinta denganku.

“Aku menyukai perempuan yang tanpa harus kujelaskan dia sudah bisa mengertiku.” Aku mulai menelisik makna dari ucapanmu, sedikit demi sedikit aku mulai paham bahwa sebenarnya kamu mencintaiku hanya saja kamu tidak mau terikat karena alasan yang sudah pernah kita bahas sebelumnya. Hubungan kita terlalu beresiko untuk menimbulkan masalah besar. Namun, yang aku sesali kamu tidak berani berjuang meski hanya sebentar.

“Aku ingin melihatmu bahagia bersama orang lain,” pintamu. Apa kamu yakin bisa bahagia ketika melihatku bahagia bersama orang lain? Apa dadamu selapang itu? bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku mencintaimu bagaimanapun konsekuensinya. Kalaupun kamu tidak sudi membahagiakanku, aku bisa membahagiakan diriku sendiri tapi aku tidak bisa kalau harus bahagia dengan orang lain.

 

***

 Aku kira hari-hari setelah perbincangan kita di taman akan memperberat langkah kita selanjutnya. Tapi aku salah, kita bisa baik-baik saja setelah kesulitan di hari itu. Aku selalu percaya bahwa kamu sebenarnya mampu melewati semuanya kalau kita terikat, akan tetapi kamu terlalu pengecut untuk memulai semuanya dengan “saling mengikat”. Kamu terlalu takut menciderai persahabatan suci kita, kamu selalu takut dengan omongan orang, dan kamu selalu takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan datang.

Jangan membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa tentangmu, yang berlaku biasa-biasa saja padahal aku sangat peduli. Aku terlalu mencintaimu; lebih dari diriku sendiri. Bukankah kamu bisa merasakannya dari sikapku yang tidak bisa diam ketika kamu kesakitan, yang tidak akan membiarkanmu sendirian, yang tidak akan membiarkanmu kelaparan, yang tidak akan membiarkanmu kelelahan, dan yang tidak akan membiarkanmu sedih atas sesuatu. Aku mencintaimu, tolong jangan pura-pura baik-baik saja karena pada kenyataannya hubungan kita rapuh dan bisa runtuh kapan saja.

 

***

 “Ini yang disebut takdir, Tuhan mempertemukan kita dalam aktivitas yang sama tanpa sengaja dan membuat kita sedekat ini,” ucapku ketika membonceng di belakangmu. Kamu hanya tertawa lepas seperti biasanya. Aku bahagia melihatmu seperti itu, tenteram tertawa tanpa harus mencemaskan ada orang yang akan berpendapat tentang pantas atau tidaknya kemesraan kita. Situasi seperti ini yang selalu aku tunggu-tunggu, kondisi di mana kita tidak perlu khawatir dengan omongan orang lain. Keadaan di mana kita bisa bebas bercerita tentang pribadi kita yang tertunda karena banyak alasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline