Fenomena keberlangsungan pendidikan pada masa pandemi Covid-19 telah mengalami banyak perubahan dari banyak hal ditinjau dari segi pelaksanaan dan perubahan kebiasaan yang ada dalam dunia pendidikan. Kemunculan pandemi Covid-19 yang dianggap sebagai sesuatu yang bersifat perlu diwaspadai tersebut mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan baru sebagai langkah penanganan masalah dan situasi ini. Berdasarkan kebijakan tersebut, menjadi dasar dari segala perubahan dan kebiasaan, salah satunya dalam bidang pendidikan. Melalui kebijakan terkait perubahan yang harus dilakukan tersebut, masyarakat mau tidak mau harus siap dalam menjalani perubahan dengan segala resiko yang dirasakan sebagai dampaknya.
Kemunculan pandemi Covid-19 merubah pelaksanaan pendidikan melalui metode pengajaran yang sudah dilaksanakan sebelumnya, yaitu dari luring atau tatap muka menjadi daring atau belajar dengan menggunakan metode jaringan yang ditunjang dengan media handphone. Metode pembelajaran baru ini mendorong banyak perubahan yang bersifat positif maupun negatif bagi setiap siswa. Penerapan metode belajar melalui jaringan dengan menggunakan media handphone secara tidak langsung membuat siswa memiliki lebih banyak waktu dalam memegang dan menggunakan handphone. Fenomena ini menjadi pendorong perubahan yang ada, diantaranya adalah perubahan kebiasaan anak yang lebih banyak menggunakan handphone untuk kegiatan yang tidak perlu seperti game online, perubahan intensitas waktu belajar, penurunan semangat belajar pada anak, dan ketergantungan yang menyebabkan tidak adanya bentuk kemandirian pada dirinya. Dampak metode pembelajaran ini bagi para orang tua adalah berupa penurunan inisiatif belajar dan peningkatan sifat malas pada diri anak. Hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang malas untuk mengikuti KBM yang dilatarbelakangi karena ketiadaan peraturan yang mengikat dan membuat tunduk. Sehingga, realisasi yang terjadi adalah kegiatan belajar dilaksanakan oleh tua, terutama dalam pengerjaan tugas yang diberikan guru. Selain membawa dampak secara individu, pandemi Covid-19 juga berdampak pada penurunan minat sekolah salah satunya adalah putus sekolah.
UNICEF menghimpun bahwasannya terdapat 938 anak di Indonesia yang putus sekolah akibat adanya pandemi Covid-19 yang diliput melalui media informasi CNN Indonesia. Melalui jumlah keseluruhan tersebut, 75 persen diantaranya tidak bisa melanjutkan pendidikan disebabkan karena masalah biaya dan perekonomian keluarga. Penyebab dari permasalahan tersebut yang tidak lain berupa masalah biaya dan perekonomian keluarga adalah faktor hilangnya pekerjaan dan dan pendapatan yang dialami oleh orang tua sebagai dampak dari adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan jumlah tersebut, permasalahan ATS (Anak Tidak Sekolah) lebih banyak dialami oleh masyarakat kelas menengah kebawah hingga masyarakat miskin. Sehingga, dampak yang muncul adalah berupa ketimpangan pendidikan antara wilayah atau daerah pusat dengan daerah pelosok dan antara masyarakat kelas menengah atas dengan kelas menengah kebawah.
Selain itu, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) melalui media kompas dan detik menyebut bahwa jumlah anak putus sekolah selama adanya pandemi Covid-19 cukup tinggi. Data ini disampaikan oleh komisioner KPAI, Retno Listyarti berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurutnya, peningkatan jumlah anak putus sekolah saat adanya pandemi Covid-19 disebabkan karena empat faktor, diantaranya adalah karena menikah, bekerja karena membantu orang tua yang terdampak secara ekonomi karena adanya pandemi Covid-19, kecanduan game online, dan perekonomian orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan melalui pembayaran SPP dan fasilitas belajar yang dibutuhkan dalam melaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) saat pandemi Covid-19.
Adanya pandemi Covid-19 dan kebijakan yang dibuat sejak adanya pandemi ini memberikan dampak yang cukup signifikan dalam berbagai aspek dan elemen masyarakat, baik dari segi sosial, ekonomi, dan pendidikan. Pandemi Covid-19 yang menuntut masyarakat untuk mau mengikuti perubahan yang muncul dan menjalankan kebijakan-kebijakan baru yang dinilai merugikan bagi beberapa pihak atau elemen dalam masyarakat. Kebijakan inilah yang disebut dalam protokol Kesehatan. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah menjauhi kerumunan, menghindari kunjungan pada fasilitas umum, dan menghindari pemakaian alat atau barang yang berpotensi untuk disentuh banyak orang. Munculnya suatu kebijakan baru tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Adanya kebijakan yang ada saat pandemi ini memiliki dampak yang cukup signifikan pada masyarakat kelas menengah kebawah dalam pekerjaan yang mereka jalani untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan perekonomian seperti pedagang makanan olahan yang menerapkan makan di tempat, pedagang pasar tradisional, pekerja pada fasilitas publik seperti mall, pekerja pabrik, dan penyedia jasa angkutan umum seperti gojek. Dampak yang mereka rasakan adalah melalui adanya penurunan pendapatan yang signifikan, pemberhentian kerja pada bidang industri atau pabrik, bahkan ada yang hingga gulung tikar. Adanya dampak tersebut membuat masyarakat kesulitan dalam memenuhi segala hal yang dianggap sebagai kebutuhan seperti kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan pendidikan pada anak.
Adanya pandemi Covid-19 telah mengubah sistem pendidikan di seluruh dunia, salah satunya adalah di Indonesia, yaitu sistem pembelajaran tatap muka yang beralih menjadi sistem pembelajaran secara daring (dalam jaringan) atau yang juga disebut sebagai metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Adanya perubahan pada sistem pembelajaran mengacu pada kebijakan social distancing atau menjaga jarak, dimana dalam sistem pembelajaran ini siswa tidak lagi melakukan tatap muka dan datang ke sekolah, melainkan bertemu melalui virtual dengan menggunakan jaringan pada media elektronik, seperti hp dan laptop yang dilakukan melalui berbagai aplikasi. Adanya perubahan sistem pembelajaran ini, memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru yang harus dipenuhi oleh orang tua dalam keberlangsungan pendidikan dan pembelajaran, seperti hp atau laptop yang memadai dan paket data atau paket internet. Adanya kebutuhan baru ditengah penurunan pendapatan inilah yang dianggap sebagai masalah bagi masyarakat karena selain harganya mahal, mereka menganggap bahwa kebutuhan yang lain masih sulit untuk terpenuhi. Bagi masyarakat kelas menengah dan masyarakat miskin adanya kebutuhan yang dibutuhkan dalam melakukan pembelajaran daring mayoritas tidak terpenuhi, karena mereka merasa bahwa uang atau pendapatan yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi kebutuhan rumah tangga. Sehingga, dampaknya adalah tidak terpenuhinya fasilitas pendidikan anak. Maka, ketika orang tua merasa tidak mampu memenuhi fasilitas yang dibutuhkan inilah mereka memutuskan agar anak tidak melanjutkan pendidikan. Selain ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi fasilitas pendidikan, adanya fenomena putus sekolah atau learning loss (kehilangan pembelajaran) juga disebabkan karena ketidakmampuan membayar asuransi pendidikan atau yang disebut sebagai SPP. Sehingga, untuk menghindari penunggakan atau keterlambatan dalam membayar administrasi saat mereka memiliki pendapatan yang relatif sedikit, para orang tua memutuskan anaknya dalam menempuh pendidikan dengan tujuan mengurangi beban pengeluaran kebutuhan.
Terlepas dari penyebab perekonomian sebagai pemicu meningkatnya jumlah anak putus sekolah, adanya pandemi Covid-19 juga memberikan pengaruh signifikan terhadap anak. Sistem pembelajaran saat pandemi Covid-19 yang dilakukan dengan sistem dari dan belajar di rumah dengan menggunakan media elektronik berupa handphone, mendorong anak untuk menghabiskan waktu bermain handphone lebih sering terlepas dari waktu belajarnya. Dampak yang ditimbulkan dari hal ini adalah kecanduan game online dan tik-tok yang saat ini menjadi aplikasi yang trend. Resiko tersebut akan terjadi ketika orang tua tidak memberikan pengawasan dan pembatasan terhadap aktivitas anak dalam bermain gadget. Resiko dari adanya permasalahan ini didukung oleh maraknya berdirinya warung yang memberikan fasilitas berupa wifi. Fenomena ini kerap ditemui pada masyarakat pedesaan yang dilatarbelakangi karena minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua. Sejak diterapkannya pembelajaran di daring dan di rumah, banyak siswa yang tidak mengikuti pembelajaran dan orang tua yang mengerjakan tugas, hal ini kerap terjadi umumnya pada siswa sekolah dasar. Pada akhirnya, ketika mereka naik pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan orang tua merasa tidak mengerti tentang pelajaran yang diberikan, maka memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
Permasalahan putus sekolah pada anak harus segera ditangani dan tidak bisa dibiarkan karena ketika jumlah kasus putus sekolah semakin banyak maka resiko yang terjadi adalah maraknya kebodohan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Pengaruh yang ditimbulkan dari rendahnya kualitas sumber daya manusia adalah berupa peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan dalam masyarakat. Munculnya permasalahan putus sekolah pada masyarakat miskin di era pandemi Covid-19 ini, menyebabkan adanya fenomena ketimpangan pendidikan antara masyarakat kaya dan miskin. Maka, perlu adanya solusi dalam mengatasi permasalahan ini yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, agen pelaksana pendidikan (guru), dan orang tua. Langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menjangkau dan meninjau seluruh wilayah mulai dari pusat hingga pelosok daerah terkait jaringan, sistem pendidikan, akses dan fasilitas pendidikan yang ada, dan memperbaiki segala hal yang dibutuhkan dalam pendidikan. Langkah yang bisa dilakukan oleh pendidikan adalah mengkoordinasikan kepada pusat terkait hal yang menjadi hambatan bagi masyarakat ketika memutuskan pemberhentian sekolah untuk anak mereka dan memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan. Sedangkan langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah menjalin komunikasi kepada pihak sekolah ketika merasa tidak mampu memenuhi biaya pendidikan dan bertanya terkait alternatif bantuan agar anak bisa melanjutkan pendidikan dengan baik serta memberikan pengawasan dan kontrol yang baik terhadap penggunaan gadget di luar jam belajar. Sehingga, melalui data dan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa maraknya jumlah siswa putus sekolah saat pandemi Covid-19 adalah disebabkan karena adanya perubahan ekonomi berupa penurunan pendapatan sebagai dampak dari adanya pandemi Covid-19 pada kalangan masyarakat menengah kebawah dan masyarakat miskin.
Fenomena ini tentu menjadi masalah yang cukup krusial jika tidak segera ditangani. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan dasar pengembangan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui hasil yang didapatkan oleh individu dalam pendidikan baik berupa output atau skill. Berdasarkan pengaruh positif yang diperoleh individu sebagai hasil dalam menjalankan pendidikannya itulah perbaikan kualitas sumber daya manusia dapat terwujud melalui skala individu. Hal tersebut memiliki hubungan dan timbal balik yang sangat erat dengan keadaan penduduk yang selalu bertambah dimana pendidikan berfungsi sebagai penyeimbang antara pertumbuhan penduduk dan suatu kemajuan. Tujuannya adalah dengan adanya pendidikan diharapkan dapat memberikan dampak berupa kemampuan pada setiap individu untuk mencapai perubahan dan kemajuan yang lebih baik. Selain itu, pendidikan juga bertujuan dalam mengurangi masalah sosial yang disebabkan karena jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan kualitas sumber daya manusia. Maka, peran pendidikan dalam hal ini adalah bersifat penting dan perlu di prioritaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H