Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini menjadi salah satu alasan gencarnya kampanye literasi digital. Literasi digital atau melek digital adalah upaya persuasif untuk memberikan pemahaman serta keterampilan bagi masyarakat luas dalam melakukan transaksi informasi melalui media digital, seperti sosial media (Facebook, Instagram, Twitter, Pinterest, TikTok, dsb) dan aplikasi komunikasi chatting (WhatsApp, Messenger, Telegram, dsb), serta melalui berbagai platform berbasis ruang digital lainnya.
Kampanye literasi digital harus dilaksanakan berdasar pada kebutuhan masyarakat target, dan untuk merangkum kebutuhan tersebut maka empat pilar literasi digital merupakan materi yang selalu tepat untuk diuraikan. Empat pilar literasi digital yaitu kecakapan digital (digital skill), budaya digital (digital culture), etika digital (digital ethics), dan keamanan digital (digital safety).
Kecakapan digital ialah kemampuan memahami dan terampil menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak TIK dalam kehidupan sehari-hari. Budaya digital ialah kemampuan membiasakan memanfaatkan TIK dalam kehidupan. Etika digital ialah kemampuan memahami, menyadari, dan menerapkan aturan atau pedoman yang mengatur perilaku di ruang digital.
Keamanan digital ialah kemampuan mengenali dan menyadari adanya data pribadi yang perlu dilindungi dan sistem keamanan yang berlaku dalam ruang digital. Berdasarkan empat pilar ini, hemat penulis bahwa literasi digital tidak sebatas pada cakap atau mahir menggunakan smartphone saja misalnya, tapi juga mampu menggunakan ruang digital dengan penuh tanggung jawab.
Salah satu wujud perilaku bertanggung jawab pada ruang digital yang merangkum empat pilar literasi digital ialah "saring sebelum sharing" yaitu upaya memfilter, menyaring, mengklasifikasikan, mengategorikan, memilah, mengorganisir, berpikir secara rasional, atau melacak benar atau tidaknya suatu informasi sebelum disebarluaskan.
Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan begitu bebasnya transaksi informasi melalui ruang digital. Tak ada lagi batas jarak, ruang dan waktu. Semuanya serba cepat bertransformasi. Smartphone murah, infrastruktur jaringan internet yang mudah diakses, makin banyaknya sosial media dan aplikasi chatting adalah faktor utama yang mendukung keberlangsungan fenomena tersebut. Dampak positif dan negatif pun timbul karenanya. Ujaran kebencian, perundungan, hubungan yang menjadi tidak harmonis merupakan dampak negatif yang ditimbulkan, utamanya karena masyarakat yang masih gampang terperdaya oleh informasi hoaks atau informasi yang belum jelas kebenarannya.
Hasil survei Katadata Insight Centre dan Kominfo pada tahun 2022 menunjukkan hasil bahwa Facebook menduduki peringkat pertama sebagai sosial media yang menyajikan informasi hoaks. Selain itu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih ragu akan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi informasi hoaks. Untuk itu, kampanye literasi digital "saring sebelum sharing" perlu dimasifkan agar terbentuk masyarakat anti hoaks.
Lalu, cara apa saja yang dapat dilakukan masyarakat agar mampu menyaring informasi sebelum meyakini atau sebelum menyebarluaskannya? Pertama, cek alamat URL (Uniform Resource Locator) website yang merupakan link menuju halaman website tertentu. Jika alamat url menggunakan domain pribadi seperti blogspot.com atau wordpress.com, maka kebenaran informasi yang dimuatnya masih perlu ditelusuri. Kedua, cek laman contact atau about dari situs yang dikunjungi.
Laman tersebut biasanya berisi tentang identitas website yang terdiri dari susunan redaktur atau pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipublikasikan dalam website tersebut. Ketiga, cek informasi melalui media lain. Informasi yang benar biasanya akan diinformasikan juga oleh media lain. Detail informasi yang masih diragukan, dapat ditelusuri juga melalui media lain, seperti portal berita online. Keempat, gunakan website pengecekan informasi, seperti melalui laman publikasi laporan isu hoaks kominfo.go.id, fact check di snopes.com, atau melalui factcheck.org.
Keempat, cari atau telusuri identitas penulis atau narasumbernya. Kelima, perhatikan judul informasi. Judul yang provokatif, sensasional, dan mengundang amarah netizen, sengaja dibuat hanya untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu. Untuk itu, jangan mudah terprovokasi dalam menerima suatu informasi. Keenam, periksa keaslian foto dan video. Kecanggihan teknologi saat ini, seperti hadirnya Artificial Intelligence (AI) sangat memungkinkan terjadinya manipulasi gambar dan video.
Aplikasi editing foto juga marak sekali digunakan untuk tujuan penipuan dan sebagainya. Untuk mengecek keaslian foto, dapat memanfaatkan fungsi Google Images yang akan menampilkan foto serupa untuk dibandingkan. Cara ketujuh, yaitu dengan mengikuti fanpage atau grup diskusi anti hoaks, seperti Indonesian Hoakxes di Facebook, Sekoci (hoaxes.id) di Facebook, atau forum komunitas yang dibentuk oleh Mafindo, yang dapat diikuti grupnya di Facebook dengan link berikut https://facebook.com/groups/fafhh.