Lihat ke Halaman Asli

Nurjatnika

Pengajar pada Sekolah Menengah Atas di Sukabumi Selatan

AHONG

Diperbarui: 7 Mei 2023   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Bagian 2

Mata Cemerlang dari Balik Sumur

 

Minggu pagi, aku dan santri laki-laki lain pergi ke kebun belakang kobong milik Kiai Basri. Dari kemarin kiai sudah menugasi kami untuk membersihkan kebun yang luasnya kira-kira dua patok itu. Aku sudah meminta izin pada emak, kalau minggu pagi ini aku tidak bisa membantunya menumbuk ketan. Kiai akan menanami kebun itu dengan pohon jinjing, menurut beliau kayu jinjing bisa dipanen dalam waktu lima tahun sekali, dan harga kayu jinjing dari tahun ke tahun pasti naik. Nurdin adalah teman paling dekatku di kobong, dia salah satu santri yang tinggal di kobong karena rumahnya jauh. Orang tuanya sengaja mengirim dia ke pesantren Kiai Basri, karena kebesaran nama Kiai Basri. Kiai Basri sering mengisi ceramah-ceramah dalam hajatan, atau acara-acara islam di berbagai kampung, bahkan sampai ke kota. Tak heran jika santrinya cukup banyak. Para orang tua memercayai santri yang mengaji pada Kiai Basri tidak memalukan. Setahuku kiai tak pernah meminta iuran pada santri-santrinya, tapi para orang tua santri itu rutin mengirimi anak-anaknya beras, atau uang dalam amplop yang biasa diberikan untuk membayar listrik di pesantren. Aku sendiri sudah mengaji pada Kiai Basri sejak kecil, pertama kali kakekku mengantar ke kobong, menemui Kiai Basri dan menyerahkanku untuk dididik dengan ilmu agama.

Sebagai santri aku selalu siap, jika tenagaku dibutuhkan Kiai. Karena hanya tenaga yang aku miliki. Sebenarnya santri lain pun sama. Mereka pun siap mengerjakan pekerjaan di sawah, di kebun, mengantar Kiai ke luar kampung untuk berceramah. Menurut kami, itu salah satu bakti kami terhadap Pak Kiai. Membalas kebaikannya yang telah memberi ilmu tanpa pamrih. Tidak hanya santri laki-laki yang dengan senang hati bekerja untuk meringankan beban Kiai Basri. Santri perempuan pun sama. Dari sejak pagi mereka sibuk di dapur, ada juga yang menyapu halaman, mengepel, dan mencuci di sumur. Istri Kiai, Umi Saleha memiliki empat anak yang masih kecil-kecil, semua anaknya perempuan. Umi Saleha cukup kerepotan kalau harus mengurus rumah pula.

"Tampaknya lebih enak mengambil bibit jinjing ke sawah Haji Kodir lalu menanamnya daripada kebagian tugas membersihkan kebun." Ujar Nurdin sambil memainkan cangkulnya, mencangkuli tanah yang berwarna hitam, sesekali ia pun memotong ilalang yang tumbuh subur dengan parang.

"Jangan mengeluh, kamu tenang saja. Ishak dan Ali tak mungkin menggoda Nafisha, incaranmu itu," jawabku, Nurdin tersenyum karena ketahuan isi hatinya. Aku memang sudah lama tahu, kalau Nurdin ada hati pada anaknya Haji Kodir, Nafisha yang saat ini duduk di kelas satu Madrasah Aliyah. Nurdin sendiri selain mengaji di pesantrean Kiai Basir, dia pun bersekolah di tempat yang sama dengan Nifisha. Saat ini Nurdin duduk di kelas dua. Orang tua Nurdin seorang tengkulak gula merah yang cukup sukses. Aku kadang kagum dengan Nurdin, walaupun orang tuanya berada tapi Nurdin tetap tampil bersahaja.

"Kau sendiri Hong, apa kamu tidak tertarik pada salah satu santri perempuan atau cewek-cewek di sekolahmu itu?" Aku menanggapinya dengan senyum, kulirik sumur yang tepat di belakang dapur rumah Kiai Basri, dari arah kebun yang berada di seberang sumur aku bisa melihat rutinitas para santri perempuan yang ada di dapur dan di sumur. Pintu dapur terbuka. Kulihat Anisa membawa bakul cucian bersama Sari. Sari masuk ke dalam bilik di samping bak untuk menampung air, yang terbuat dari batu. Bilik itu terbuat dari  bambu yang tidak terlalu tinggi. Jadi yang mencuci di sumur itu kalau dia berdiri akan tampak jelas. Sumur itu memang diperuntukkan untuk aktivitas mencuci saja. Anisa, mulai menimba air. Jemarinya yang ramping dan pipih memegang karet penimba. Dengan sedikit membungkuk dia mengangkat ember dari dalam sumur dan menumpahkannya ke dalam bak. Jujur aku tidak tega melihat jemarinya yang halus menggerek karet penimba air yang pasti membuat telapak tangannya perih dan bisa kapalan. Seperti tanganku.

"Aku bantu mereka menimba air dulu, Din." Ucapku, sambil pergi menghampiri Anisa. Tak kupedulikan Nurdin yang menatapku curiga.

"Biar aku saja yang nimba air, Nis," perempuan tujuh belas tahun itu, tampak terkejut sekejap dia menatapku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline