MASA KECIL
Bola mata berbinar, bibir merah, pipi merona adalah ciri khas Amanda anakku. Setiap ekspresi wajahnya seperti simponi indah yang hadir menghangat di tengah suasana apapun. Amanda adalah sebuah anugerah bagiku, Allah swt mengirimkan Amanda buatku dalam sebuah keranjang merah yang ditinggalkan begitu saja entah oleh siapa.
Aku ingat persis keranjang merah itu, sebuah keranjang rotan yang dipoles cat minyak yang kasar seperti tergesa-gesa sapuannya. Aku ingat sore itu langit memerah, sore itu pula sepuluh pot bunga mawar di halaman rumah bermekaran dan sore itu pula Amanda hadir tanpa salam dan rencana sedikitpun. Aku, perempuan tigapuluh tahun yang memutuskan hidup melajang merasa mendapat anugerah yang tak ternilai..................Amanda.
Amanda Rossa Utomo, itu yang tertulis di atas selimut putih bersih yang membungkus tubuhnya. Nama itu kusimpan di lemari sekaligus kupatri di hati. Bagiku kehadiran Amanda adalah anugerah, namun bagi ibu ini adalah musibah.
"Rin, serahkan saja ke pihak yang berwajib"
"Rin, terlalu beresiko merawat anak yang tak jelas nasabnya"
"Rin , kamu apa tidak takut jangan-jangan anak ini ada kaitannya dengan dunia hitam"
Ibu terlalu bertubi-tubi mengungkapkan kekhawatirannya. Namun entah mengapa ? Semakin aku dijauhkan dengan Amanda, aku makin merasa sayang dengan anak ini.
Dan kasih sayangku semakin bertambah dari waktu ke waktu. Rajutan cinta yang makin lama makin kuat, rajutan hati seorang ibu usia tigapuluhan dengan bayi mungilnya yang cantik...................Amanda.
REMAJA
Amanda bertumbuh makin remaja. Cintaku pada Amanda benar-benar dirajut dengan bumbu ibu sejati. Pemikiran, perasaan dan perilaku tentang hidup dan kehidupan bahkan telah kukurung di sangkar sosok Amanda. Dalam kamus hidupku tak pernah lagi teragendakan untuk menjalin cinta apalagi untuk menikah.