Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Oase Maaf dari Maisarah

Diperbarui: 1 Juni 2018   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                                                      1

Bagi kebanyakan orang, kampung adalah oase sejuk pelepas dahaga rindu. Rindu akan suara lembut mamak, rindu bau harum masakan dari dapur, rindu pandangi indahnya mawar melati di pekarangan. Rentetan kerinduan ini teramat panjang lagi jika dilanjutkan dengan rindu buah jambu dan mangga ketika musim tiba, rindu suara keras ustaz dan suara nyaring bilal di meunasah[1]. Namun bagi Maisarah, rindu kampung biarlah tetap bernama rindu. Maisarah yang biasa dipanggil Mai tetap membungkus rindu itu dengan berlembar kain rahasia yang entah kapan ia akan buka dan ceritakan bagaimana menderunya nyanyian rindu.

 Rindu kampung bagi Mai bukanlah seindah puisi di hati para perantau. Rindu kampung bagi Mai adalah perhelatan antara suka dan duka. Perhelatan yang dimenangkan duka ini ditambah lagi dengan sayatan luka batin yang teramat nyeri. Kampung bagi Mai adalah hentakan kaki laskar lengkap dengan bentakan dan teriakannya. Kampung bagi Mai adalah darah yang mengalir dari ujung kepala hingga kaki Bapak, ketika tubuhnya tercampakkan oleh perlakuan kasar para laskar. Memori tentang kampung yang indah ternodai oleh simbah darah.

 "Mai, lebaran kali ini kita pulang kampung ya. Mamak sudah makin renta, kita sebagai anaknya sudah selayaknya duduk bersimpuh di kaki mamak sambil terus mendoakan dan menyayanginya" ujar Ibrahim suaminya.

 Seingat Mai, kalimat yang sama selalu diucapkan oleh Ibrahim setiap memasuki bulan ramadan.  Ibrahim ingin membawa Mai ke pangkuan mamak di kampung. Tak mungkin mamak hanya puas bervideo call saja dengan putri semata wayangnya itu. Ibrahim tak mau dikatakan menantu durhaka, ia tetap saja menyampaikan dan membujuk Mai agar mau pulang kampung setiap lebaran. Dan ini adalah tahun kelimabelas, ia menikahi Mai. Dan ia tak tahu apakah di tahun kelimabelas ini ia bakal berhasil membawa Mai pulang ke pangkuan mamaknya. 

                                                                                                                                                          2

                        Mata Mai nanar, ia cuma bisa lari dan lari sejauh-jauhnya. Menjauhi tubuh Bapak yang terlentang bersimbah darah. Mai tak sanggup hadapi semua itu. Ia lari sejauh-jauhnya, menjauhi kampung Peut (kampung kelahirannya). Ia tak  membawa apa-apa, hanya berbekal baju di badan dan selembar uang 50 ribu. Ada bekal yang lebih mahal yaitu otak Mai yang cerdas. Ia memang gadis kampung yang cerdas, ia bahkan lulus dengan nilai yang istimewa dari Madrasah. Ia juga hafal Quran 10 juz. Mai juga trampil memasak dan menjahit, apalagi syarat untuk ukuran perempuan. Mai telah memiliki semuanya.

                      Dibantu wawaknya di kota, Mai akhirnya pergi merantau ke negri seberang. Ia rela bekerja di kilang.  Di kilang  ia bertemu Ibrahim. Ibrahim yang baik dan penuh perhatian, Ibrahim yang tulus dan penuh kasih sayang khususnya buat Mai. Mai menerima pinangannya. Ibrahim paham siapa Mai, bahkan Ibrahim juga paham akan luka jiwa Mai. Mereka berdua menikah dengan mas kawin 5 mayam emas, jumlah yang terlalu sedikit untuk gadis seperti Mai. 

Mai ikhlas menerimanya,  baginya pernikahan tak hanya ditentukan oleh jumlah mahar tapi juga faktor psikologis yang malatarbelakanginya. Mai perantau, Ibrahim perantau. Biarlah mereka berdua menegakkan adat dengan takaran keikhlasan dan penerimaan. Lima mayam bagi mereka berdua telah cukup. Cukup untuk ditampilkan sebagai tanda kesungguhan sosok laki-laki yang berniat meminang calon istri, calon ibu buat anak-anaknya. Ibrahim lancar lafalkan ijab qabulnya, Mai bergulir air mata mendengarnya. Dua anak manusia, perantau yang menemukan pelabuhan hati dari kampungnya sendiri. Saat itu senyum dan syukur Mai dan Ibrahim terbang tinggi, seperti hendak memeluk langit cita-cita hidup keduanya

                                                                                                                                                         3

 Mamak banyak membakar kue sepit kali ini, bahkan kue sagu, kekarah, bada reteuk juga lengkap disiapkannya. Handai taulan dan jiran bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Mamak. Perempuan jelang 80 tahun yang sakit-sakitan tiba-tiba sehat dan segar bahkan bisa masuk kembali ke dapur .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline