Pagar besi itu terlalu tinggi buat ukuran sebuah kantor pelayanan buat warganya yang merantau di negri orang. Jangankan senyum dan ramah, setiap batang besi di pagar itu melambangkan kokohnya raksasa kekuasaan yang hendak menelan dan mengunyah bulat-bulat siapapun yang mendekat. Entah mengapa aku tak tahu persis tiba-tiba saja aku ingin memarkirkan mobil rentalku di luar pagar gedung itu. Ini bukan yang pertama aku datang kesini, namun kedatanganku kali ini dan kebetulanku melewati gedung ini menyuarakan bisikan keras di kuping jiwaku agar aku datang ke gedung ini. Gedung angkuh dengan tulisan besar tegak yang berbunyi : Gedung Pelayanan Anak Rantau Nuswantara.
Bajuku cukup necis dan rapi untuk bertamu sejenak di gedung itu. Bagaimana tidak necis dan rapi, dua jam ke depan aku harus meeting formal dengan sejumlah orang di gedung yang letaknya tak jauh dari gedung ini. Disini aku ingin shalat di suraunya, dan tentu saja suasana luar gedung itu yang menarik naluriku sebagai psikolog dan penulis untuk mampir . Jika gedung itu memang hanya dibangun untuk melayani anak rantau negri Nuswantara, bukankah aku juga anak negri Nuswantara. Meski aku tak merantau di negri ini, namun kunjungan singkatku untuk sebuah urusan boleh saja kan jika aku mampir kesini.
"Tinggalkan pasport ibu"
"Jangan lupa kenakan ID Card selama berada di komplek gedung ini"
Aku kenakan ID Cardku yang berwarna biru. Aku dipersilahkan dengan ramah, senyum dan diantar ke arah surau yang kutuju.
"Silakan ibu masuk saja ke pintu itu lurus, disanalah surau nya berada"
Aku berharap keramahan petugas ini adalah keramahan yang terpatri. Terpatri dalam jiwa pelayanannya paling hakiki bahwa sesungguhnya yang dihadapi adalah anak-anak negri yang merantau. Anak anak negri yang galau di negrinya sendiri, kebanyakan datang dari kampung pelosok yang lapar dan miskin untuk kemudian mengadu nasib di negri orang. Tentu saja aku bahagia dengan keramahan petugas disini. Dengan harap harap cemas smoga anak anak rantau setidaknya mendapat siraman sejuknya senyum dan merdunya suara petugas di gedung ini.
Berjajar rapi di depan Rest Room , penampilan wajah yang bersih tak terdukung dengan aroma pesing yang menyengat. Aku berusaha memaafkan aroma ini, bukankah barisan antrian anak rantau yang sedang mengurus surat menyurat keijinan disini memaksa menyikat habis aroma wangi di pagi berubah menjadi pesing tak terperi. Satu pun aku tak melihat petugas Cleaning Service yang bertugas disini. Berapalah dana alokasi buat petugas pelayanan di kantor ini, sehingga tak sanggup menggaji petugas agar Rest Room (toilet) senantiasa bersih dan wangi. Dinding kandung kemihku penuh tak mau diajak kompromi, aku mengalah. Kuusap sedikit olesan minyak kayu putih di hidung agar aku sanggup masuk ke area Rest Room ini.
Selanjutnya kulangkahkan kakiku ke tempat berwudhu, masih bercampur tempat wudhu perempuan dan laki-laki. Aku sengaja duduk sejenak di kursi sambil menunggu sepinya lelaki yang lalu lalang disini. Pada akhirnya sepi itu hadir juga tinggal beberapa perempuan di area ini termasuk diriku. Wudhu untuk kemudian sholat, berdoa dan zikir sejenak setelah itu aku akan berpamitan meninggalkan gedung ini. Surau yang bersih, sejuk dan nyaman alhamdulillah kudapatkan.
Terbayar sudah rasa kecewa di Rest Room dengan kenyamanan surau ini. Aku kenakan kembali alas kakiku untuk kemudian hendak bergegas meninggalkan gedung ini. Bunyi langkah sepatuku dan dering beberapa kali suara handphoneku kalah oleh hiruk pikuk para anak rantau yang semakin ramai datang ke gedung ini. Langkahku tertahan sejenak, kuintip jam tangan bukankah meeting masih 1 jam ke depan. Harusnya kugunakan waktu untuk makan siang agar pikir dan rasaku lebih siap untuk diskusi dalam meeting. Namun itu kuurungkan, jiwaku memanggil, jiwaku menjerit. Jiwaku meronta seperti anak balita minta dibelikan mainan oleh emaknya. Jiwaku kemudian memaksa ragaku untuk mengambil posisi strategis berdiri di sudut gedung agar mata dan telingaku bebas leluasa mengamati apa dan bagaimana anak-anak negri yang makin berjubel di gedung ini.
Ada yang berpenampilan rapi tentulah membuat lega kerna ini cerminan anak negri yang intelek dan berpendidikan yang bekerja di negri orang. Siapapun yang melihat mereka atau mendengar percakapan mereka pastilah melegakan dan membanggakan. Namun teman, jumlah mereka tak banyak disini. Nun di sebelah sana kulihat lebih banyak yang berpenampilan lusuh tak terurus. Nun di sebelah sana kulihat ada yang bermata kosong hampa, ada yang memaksa gaya dengan pakaian sok eropa dibalut percakapan vulgar membuat shock pendengarnya. Ada yang kekar bak algojo membentak barisan perempuan tak berdaya. Beberapa sosok kekar bermata lebar ada juga yang mengkernyit sipit menjaga barisan perempuan perempuan muda itu. Warna-warna baju merah kuning hijau atau biru, aku makin shock teringat perjuangan para politisi partai negri nuswantara. Warna warni partainya dipakai oleh para gadis muda ini, gadis muda yang bekerja malam di negri orang. Gadis muda berpendidikan pas-pasan nekad berlayar atau terbang untuk meraup lembaran dolar. Wajah wajah yang lelah bekerja semalaman, mata mata kosong tak melihat masa depan. Aku tersentak tiba-tiba disampingku berdiri salah satu sosok perempuan muda itu.