Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Ayah-ayah Cinta (Kisah Kecil dari Sydney)

Diperbarui: 16 Januari 2017   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lelaki muda sekolahan, pernah menjadi CEO di beberapa corporate besar kemudian rela mengabdikan dirinya buat keluarganya adalah sebuah sisi unik kehidupan yang sayang untuk dilewatkan. Meninggalkan karir, teman-teman dan kehidupan lumayan mapan bagi seorang lelaki bisa disamakan dengan kenekatan seorang mahasiswa yang meninggalkan studi untuk ikut wajib militer demi membela tanah airnya.

Terus terang jika dibedah dengan menggunakan rumus ilmiah yang digodog dengan kacamata kognitif , hal ini tak akan pernah terpecahkan. Kenekatan Zaldy (nama samaran versi saya) menutup sementara lembaran hidup yang penuh tawa canda, nikmatnya berkendara, empuknya kursi kantor, wanginya parfum dan flamboyannya penampilan patut diacungi sepuluh jempol. Zaldy jelas melakukan semua ini dengan rumus hati.

            Mendampingi seorang istri cantik dan cerdas yang menempuh studi S3 (program doktor) itu saja sudah merupakan keikhlasan yang luar biasa. Tanggung jawab seorang imam, tanggung jawab seorang mahram sepertinya sudah begitu terpatri di hatinya sehingga keputusan tersebut bergulir begitu saja. Kepahaman agama menjadikan Zaldy pasang badan menjaga istri tercintanya meraih impiannya. Tentu kalian akan  ada yang bertanya, apakah Zaldy tak punya impian ?

Tentu punya. Laki-laki secerdas dia tak mungkin jika tak punya impian dalam hidupnya. Dalam posisi ini Zaldy mewakafkan diri dan impian egonya untuk sesaat disimpan di laci kehidupan. Atau Zaldy justru tengah merangkai impian keluarga melalui proses tersebut. Ia bersama Lina istrinya dan kedua putrinya yang cantik dan cerdas sedang melukis potret impian masa depan mereka. Boleh saja orang diluar sana melecehkan dan mencemooh keputusan Zaldy, bagi Zaldy itu sah sah saja. Yang terpenting baginya adalah mereka sekeluarga sudah berembug dan memutuskan mana yang terbaik.         Walaupun keputuan Zaldy telah menjungkir balikkan mitos tentang ayah, namun apa urusannya mitos jika itu menyesatkan.

            Mitos ayah biasanya masih berkutat pada beberapa hal berikut ini :

Ayah adalah seseorang yang wibawa dan punya tugas menegakkan disiplin di rumah dengan segenap aturan dan larangannya.

Ayah adalah seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah sehingga waktu yang diluangkan untuk keluarga hanya sedikit atau bahkan sisa sisa waktu saja.

Ayah adalah seseorang yang tak akan mau mengorbankan karir atau pekerjaannya demi keluarga

Ayah adalah seseorang yang akan duduk manis menikmati hidangan yang dimasak dan/atau disediakan oleh istrinya

Daftar ini jika dilanjutkan bisa saja makin panjang, namun tetap saja isinya adalah segala hal yang maskulin. Segala hal yang berurusan dengan perilaku masif otak kiri yang ketat, kaku, terprogram serta terjebak dalam rangkaian mitos demi mitos yang memenjarakan jati diri hakiki kemanusiaan seorang laki-laki. Sosok ayah dibangun melalui  ‘tukang sosial dan budaya’  yang memilih ‘batu bata, semen, cat ,genteng ‘  dan sebagainya sehingga ‘bangunan’ sosok ayah menjadi demikian[1].

Zaldy berhasil lepas dari belenggu mitos-mitos tersebut, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri menjadi sosok ‘ayah ayah cinta’ buat kedua putrinya dan tentu suami tercinta bagi istrinya. Kesan pertama yang saya tangkap adalah ketika saya dan suami berkunjung ke rumah keluarga Zaldy dan Lina untuk pertama kali. Diundang sarapan pagi dengan menu nasi gurih ala Aceh tentu merupakan sesuatu yang wow di negeri Kanguru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline