Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Jumpa Tokoh Cerpenku Di Kedai Kopi Oey

Diperbarui: 14 Agustus 2016   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tetap bersyukur  dengan setiap noktah langkah hidup kita , membuat jiwa kita indah menari  menyambut hari-hari yang kita lalui (Nur Janah Al-Sharafi)

Sore itu jalan Sabang terasa lengang, entah karena bukan akhir pekan atau karena terbawa perasaanku yang lengang. Kuparkir mobil pas di depan salah satu kedai kopi favoritku ‘Kopi Oey’ dengan langkah santai aku masuk kedai kopi tersebut dan sengaja memilih duduk di kursi pojok bagian depan. Pilihan tempat duduk tersebut kulakukan dengan tujuan agar aku bisa cepat melihat kedatangan Witna sobatku. 32 Tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan 2 orang sahabat yang pernah bersama selama 3 tahun dalam suka dan duka di SMA.

Witna dibesarkan oleh kedua orang tua yang sama-sama berpendidikan tinggi, sementara aku adalah anak bakul atau pedagang atau dengan bahasa kekiniannya anak seorang pengusaha atau enterpreneur. Witna yang sejak kecil sangat teratur hidupnya selepas SMA pun memilih melanjutkan pendidikan tinggi yang telah pasti. Pendidikan yang seolah sudah dirancang sebagai jembatan untuk mencapai masa depannya. Hal ini beda sekali denganku, yang masih meraba mau kemana dan hendak kemana selepas SMA. Namun itu semua bagi Witna benar-benar bagaikan sebuah kamus besar yang bertengger di lemari. Witna dengan segenap cerita manis kehidupan masa lalunya seolah memang hanya indah dipajang di lemari. Dan  lemari kehidupan indahnya tertutup rapat sementara kuncinya entah hilang kemana. Dan aku merasa terpukul mendengar hal itu . Aku  yang konon adalah salah satu sahabatnya tak bisa menolong apa-apa karena  benar-benar telah kehilangan jejak Witna . Baru 5 bulan yang lalu aku ketemu dengan Sri yang menceritakan tragedi yang dialami Witna.

Aku masih ingat betapa Sri terbata-bata menceritakan tragedi kehidupan Witna. Kata demi kata yang meluncur dari mulutnya benar-benar seperti kertas fotocopy yang nyangkut. Sri sepertinya ingin menguras kisah itu namun disisi lain seolah ada rem yang menahannya. Hal ini membuatku hanya memahami kisah Witna dari satu sisi.  Dan sisi tersebut adalah sisi hancur, sisi lebur, sisi nasi yang terpaksa jadi bubur. “Boleh aku minta nomor hp Witna, aku kangen Sri sama Witna sudah lama banget aku kehilangan jejaknya” pintaku pada Sri. Sri berbaik hati memberikan nomor hp Witna  dengan pesan bahwa Witna sering ganti nomor hp untuk alasan kenyamanan dirinya.

Aku Cuma diam, pasrah dan hanya berharap semoga pesan yang kukirim ke nomor tersebut sampai dan dibaca oleh Witna. Dan benar Witna akhirnya membalas hingga kemudian akupun menelponnya. “Aku sebenarnya mencarimu Nung, tapi aku kehilangan nomor kontakmu dan aku tahu kamu tinggal di Aceh sehingga bagiku sangat jauh dan tak  mungkin aku lari kesana ketika cobaan itu datang” jelas Witna. Witna yang sukses di karir, mendapat cobaan, kemudian jatuh terpuruk bahkan terusir dari rumahnya sendiri. “Witna, boleh aku tulis cerpen tentang dirimu? Tentu nama dan beberapa setting tempat akan aku samarkan” tanya dan pintaku pada Witna.  Witna bahkan merasa senang jika aku mau menulis cerpen tentangnya dengan pesan “ Kirim aku ya nung link-nya, aku ingin membaca  dan aku berharap lebih lega setelah curhat denganmu dan membaca kisahku sendiri di cerpen itu” sahut Witna. Aku jadi teringat hasil riset  James W. Pennebaker, guru besar psikologi University of Texas. Selama  15 tahun ia meneliti  dan menuangkannya dalam buku “Opening Up : The Healing Power of Expressing Emotions” . Di buku tersebut disebutkan  setidaknya ada tiga manfaat penting menulis, yakni :

1. Menulis  dapat meningkatkan kekebalan tubuh,

2. Bercerita, juga lewat tulisan, dapat menyelesaikan separuh masalah psikis,

3. Menulis sebagai katarsis (pelepasan emosi/ketegangan).

Witna akhirnya membaca cerpenku ‘ Mawar Kuning buat Dika’.  Witna akhirnya  tak tahan menelponku dan mengungkapkan : “ aku nangis nung tapi aku lega. Akhirnya aku jumpa dengan putriku Dika, meski ia diam, meski ia tak paham benar tentang taqdir ibunya namun aku bahagia banget telah melihat Dika, mencium wangi parfumnya dan memegang jari lembutnya “.  Telpon itu juga yang akhirnya membuat kami janjian untuk ketemu, 2 sahabat lama yang selama lebih 30 tahun memoles kanvas kehidupan dengan kuas dan warna cat pilihan masing-masing.

Masih duduk di kursi sudut bagian depan kedai Kopi Oey jalan Sabang sambil sesekali melirik layar WA : “ aku otw ke Kopi Oey ya nung” tulisnya.  Akhirnya Witna datang, perempuan ayu sebayaku dengan jilbab Syar’i hijau muda dan gaun panjang berbunga-bunga. Aku kehabisan kata, Witna kehabisan kata. Kami berdua berpelukan selayaknya saudara kandung yang lama tak bersua. “Jangan menangis nung, kita harus senyum bahagia dengan taqdir Allah swt yang mempertemukan kita kembali”  tegas Witna.  Aku memang menangis, lha aku ini dari dulu memang cengeng gambang banjir air mata. “Maaf ya Witna jika cerpen itu kurang berkenan buatmu” kataku. Witna sekali lagi mempertegas bahwa ia justru berterima kasih dengan cerpen itu, menurutnya cerpen itu menjadi salah satu semangat yang membuatnya kuat untuk benar-benar ketemu Dika putrinya. “Biarpun Dika hanya diam  dan senyum, bagiku diamnya putriku dan senyumnya putriku seperti selimut hangat yang menutup jiwaku yang menggigil” ujar Witna.  Aku pun tersenyum ikut merasakan aliran bahagianya Witna di hatiku. Kami berdua akhirnya sepakat untuk tidak ngopi, kami pesan Coklat Panas . Witna pesan Lumpia  dan aku pesan ubi rebus.  Azan maghrib bergema dari Asus-ku, kami berdua menyeberang dan bejalan menyusuri gang kecil untuk mencapai Masjid guna menunaikan sholat Maghrib. Berwudhu bersama, shalat maghrib bersama  dan melanjutkan sepenggal cerita  tawa atau lara.  Aku dan Witna bertukar cindera mata kecil sambil menikmati tarian ondel-ondel yang mulai beraksi di jalan Sabang ini.  Aku dan Witna akhirnya berpisah  dengan saling doa semoga Allah swt melindungi kami. Aku pulang bertemu suami dan anak-anakku, Witna pulang di rumah kontrakannya sendiri. Aku sedih melihat langkah kakinya, namun aku bangga karena Witna perempuan yang tangguh dan tetap tegar dengan apapun suratan taqdir untuknya.  Tetap bersyukur  dengan setiap noktah langkah hidup kita membuat jiwa kita indah menari  menyambut  hari-hari yang kita lalui. Witna, kamu masih punya sahabat-sahabat yang sayang padamu. Senyumlah sobatku, dendangkan doa dan tadarusmu, smoga Allah swt makin sayang padamu.

Jl. Sabang - Jakarta, 03082016

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline