Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Mawar Kuning buat Dika

Diperbarui: 4 April 2017   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui,“ (QS. Al-Baqarah: 216).

SATU

Menyayangi  atau membenci hanya setipis kulit padi, itu baru kusadar setelah semua terjadi. Keluar  dengan paksa dari istana yang kubangun bersama mas Dan & dipisahkan dari ketiga buah hatiku sudah lebih dari penjara seumur hidup. Aku tak menyangka laki-laki yang menikahiku selama 15 tahun akhirnya menyerah seperti prajurit tak bersenjata, ketika aku istrinya dilanda badai dalam karir. Lima belas tahun yang lalu aku menerima lamarannya karena aku yakin ia adalah imam sejati yang kurindukan , bahunya tetap kuat untukku bersandar walau ada badai dan topan. Namun hatiku benar-benar hancur terpuruk ketika cobaan itu datang, mas Dan justru mengusirku dari rumah dan memisahkanku dengan ketiga buah hatiku.

15 tahun aku meniti karir di perusahaan sekelas PT. Maju Internasional dengan karir yang berkibar ternyata tak menjamin perjalanan karirku akan semulus pipiku yang rajin ku facial. Aku terpeleset dengan tuduhan berat merugikan perusahan, meski demi Tuhan semua itu hanyalah kesalahan administratif namun tetaplah aku harus ambil tanggung jawab. Ketika semua rekan kerja dan sahabat berpaling dariku, membenciku yang sedang jatuh aku masih berharap mas Dan suamiku akan tangguh dan memberikanku energi untuk bangkit. Harapanku hanya seperti kapas terbang tak tentu arah, mas Dan dengan keras dan tegas mengusirku dari rumah. Aku hanya berjalan dengan pakaian yang melekat di badan, satu hal yang masih membuatku kuat adalah bahwa aku punya Allah swt, tempatku berkeluh dan mengaduh.

Kapal hidupku berlabuh di pesantren Al Makmur, Pak Kyai dan bu Nyai menebar damai dan senyum pada siapa saja yang hadir. Aku berusaha menghapus memoriku tentang mas Dan dan ketiga anakku. Aku percaya Decay Theory ( teori Atropi) yang beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal).  Teori itu menganggap bahwa informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak (memory trace) dan jika dalam jangka waktu lama tidak dipanggil kembali ke alam kesadaran, akan rusak atau menghilang. Teori ini aku pegang erat dengan usaha yang keras bahwa aku harus menutup buku hidup pertamaku bersama mas Dan dan ketiga anakku ( Dika, Dall & Dell). Segenap ustadh, ustadhah , santri dan karyawan pesantren Al Makmur tak ada yang tahu persis latarbelakangku. Aku hanya menempatkan diri sebagai musafir kelana yang membutuhkan oase sejuk untuk rehat di kefanaan dunia. Aku datang juga membawa ketrampilanku dalam seni rupa, aku dipercaya oleh pak Kyai dan bu Nyai untuk menjadi salah satu ustadhah bidang seni rupa. Aku melukis, santriku melukis. Aku melukis kehidupan, santriku melukis kehidupan. Pak Kyai sudah memberikanku rambu-rambu agar tidak melukis binatang atau manusia dan aku menghormati itu. Lukisan alam, lukisan sawah ladang, lukisan kebun, lukisan hutan, lukisan bunga, lukisan buah dan lukisan abstrak spiritual mulai kurintis dan kuasah.

Ini adalah tepat tahun  kelima belas aku di pesantren, aku bersyukur pada Allah swt yang telah menuntunku ke jalan putih. Ketika limbung jiwaku diarahkan dekat denganNya. Ketika limbung badanku diarahkan ke tempat suci ini yaitu masjid dan pesantren. Aku melangkah ke Galleri , aku simak lukisan santriku satu persatu. Lukisan yang indah dan berjiwa. Aku bahagia diberi karuniaNya untuk mengajarkan para santri melukis. Melukis tak sekedar menorehkan kuas diatas kanvas, namun aku diberi karuniaNya untuk mampu mengajarkan mereka menoreh ruh dalam kehidupan lukisan tersebut. Aku tersenyum, aku lega namun entah mengapa aku jadi limbung melihat lukisan mawar kuning itu.

“Siapa yang melukis mawar kuning itu” tanyaku

“Siti Aishah ustadhah” jawab salah satu santriku

Aku memintanya untuk memanggil Siti Aishah dan menanyakan padanya secara langsung. Selama 15 tahun ini tak satupun pernah ada dan aku berharap jangan ada lukisan mawar kuning. Selalu saja sebagai contoh akan kulukis mawar merah, merah jambu , putih atau biru.

DUA

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline