Lihat ke Halaman Asli

Nuri Vina Mawaddah

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Ambiguitas Ganti Rugi Penyerahan Hak Ulayat atas Tanah di Papua

Diperbarui: 14 Desember 2023   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tanah Papua adalah salah satu wilayah yang masih kental dengan budaya adat istiadatnya. Salah satunya teguh pada aturan-aturan adat yang dijadikan sebagai acuan dan pandangan hidup orang asli Papua yang menjadi kesatuan dalam membentuk masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah warga asli Papua sejak dia dilahirkan kemudian hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu salah satunya aturan tanah ulayat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 43 ayat (3) menyatakan bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat Papua diakui oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pasal 1 menyatakan Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjelaskan bahwa pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua dalam melakukan pengembangan wilayah Papua. Hal demikian dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1-2) bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Selain hak kepemilikan atas tanah ulayat, pemegang hak ulayat juga memiliki kewajiban atas tanah ulayat, salah satunya adalah menyerahkan tanah apabila diperlukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan pemberian ganti rugi yang dilakukan melalui musyawarah. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 ayat (4) UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Juncto Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dana tau ha perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah apabila diperlukan Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas faktor fisik dan ganti kerugian atas faktor non fisik berdasarkan hasil musyawarah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Sampai detik ini, telah banyak terjadi sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat baik antar suku yang berbatasan atas suatu bidang tanah, maupun atas penyerahan tanah ulayat kepada Pemerintah Daerah. Penyerahan hak atas tanah ulayat juga berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, sering terjadi sengketa mengenai tanah-tanah adat termasuk tanah ulayat, adapun penyebab timbulnya sengketa tanah ulayat salah satu di antaranya adalah ganti rugi yang dianggap tidak sepadan dengan nilai tanah ulayat yang semestinya. Misalnya sengketa tanah ulayat di Kawasan Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura dan sengketa Jalan Strategis Nasional Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (Jalan P4B).

Dari kasus di atas terbukti bahwa proses penyerahan hak atas tanah ulayat masyarakat adat di Papua berpotensi terjadinya sengketa atas nilai ganti rugi. Sengketa ini terjadi karena masing-masing pihak (penggugat dan tergugat) tidak menyepakati nilai ganti rugi. Sengketa nilai ganti rugi inilah yang mendesak kebutuhan akan penilai dalam mengestimasi dan mengesahkan besaran nilai yang dianggap adil. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. Opini yang diberikan pada data yang ada di lapangan dan aturan yang mengikat seorang penilai.

Guna mengestimasi nilai ganti rugi penyerahan hak atas tanah ulayat dengan tepat dan tidak menimbulkan konflik, maka diperlukan pihak yang kompeten dalam hal ini Penilai Pemerintah. Penilai pemerintah harus memiliki kemampuan teknis dan disiplin ilmu di bidang penilaian. Adanya penilai pemerintah sangat penting agar Pemerintah/Pemerintah Daerah dan Masyarakat hukum adat tidak mengalami kerugian. Dengan nilai ganti rugi yang adil atas dasar kesepakatan maka potensi konflik atas sengketa ganti rugi hak ulayat dapat diminimalisir. Dalam hal kesepakatan, Penilai Pemerintah harus memfokuskan pada hasil dari musyawarah kedua belah pihak. Penilai pemerintah bersifat sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses musyawarah guna mencapai kesepakatan nilai ganti rugi yang tidak memaksakan dan tidak mengorbankan antara satu pihak dengan pihak lainnya, yang mana nilai ganti rugi tersebut dinilai wajar yang mencerminkan ganti rugi dari penyerahan hak atas tanah ulayat, dan pentingnya penilai pemerintah di sini adalah untuk memberikan kekuatan hukum nilai ganti rugi yang disepakati oleh kedua belah pihak dan penilai pemerintah itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline