Lihat ke Halaman Asli

Guru, Pengabdian?

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pagi ini, ketika saya buka Facebook dan pemberitahuan di bbm, banyak sekali ucapan selamat hari guru yang bertebaran. Maklum saja, saya merupakan lulusan sarjana pendidikan di salah satu universitas negeri jawa tengah. Meskipun belum memiliki pekerjaan tetap, tetapi setidaknya saya memiliki beberapa pengalaman mengajar di SMP, SMA, maupun di lembaga pendidikan non formal (bimbingan belajar). Selama itu, saya memiliki pengalaman yang ingin saya bagi dan mungkin saja untuk didiskusikan bersama.  Sering kita dengar selama ini, bahwa guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, atau istilah guru adalah pengabdian kepada nusa dan bangsa. Awalnya saya sepakat dengan pernyataan itu. Namun setelah saya menjalani menjadi guru, rasanya kalimat itu butuh dikoreksi. Menurut saya, pengabdian melalui perkerjaan tidak hanya dapat dilakukan oleh guru.

Namun dapat dilakukan oleh semua jenis pekerjaan yang bermanfaat untuk bangsa dan negara dapat dikatakan sebagai pengabdian. Oleh karena itulah, kebiasaan menyebut guru sebagai pekePekerjaan pengabdian mengundang negatif thingking saya. Jangan sampai kalimat itu menjadikan alasan untuk pembenaran untuk gaji guru uang rendah. Karena bagaimanapun, guru tidak hanya butuh dihargai dengan kalimat-kalimat sanjungan saja, sedangkan keadaan ekonomi guru tidak mendapatkan perhatian yang baik.Sertifikasi guru, sebenarnya malah menambah jurang antara guru honorer dan guru pns. Beberapa kawan guru hoborer, kebingungan saat tuntutan kehidupan lebih tinggi daripada gaji yang didapat dari mengajar di sekolahan. Oleh karena itu, mengajar di lembaga bimbingan belajar merupakan salah satu alternatif guru honorer dalam mencukupi kebutuhan hidup. Tentunya hal tersebut membutuhkan tenaga yang ekstra.

Namun bagaimana lagi, jika tidak demikian, maka bisa jadi, besar pasak daripada tiang.Saya akan mencoba terbuka dan mengemukakan apa yang telah saya alami saat ini. Saya pernah mengajar di salah satu SMA swasta di kota semarang. SMA nya memang SMA yang sepertinya kalah bersaing dengan sekolah sekolah negeri ataupun sekolah swasta yang besar, sehingga jumlah siswa di sekolah ini terbilang sedikit, yakni hanya sekitar dua puluh siswa perkelasnya. Dan masing masing tingkat, hanya ada satu kelas. Saya mendapatkan jam mengajar 10jam pelajaran tiap minggunya, dan tiap satu jam saya mendapatkan gaji sebesar 16.000 rupiah. Jadi jika ditotal saya mendapatkan gaji perbulannya 160.000. Itupun masih ada potongan dari pihak sekolahan.Saya bertahan beberapa bulan saja di sekolahan tersebut. Akhirnya saya mencoba mencari sekolahan baru untuk mengabdikan keilmuan saya. Dan Alhamdulillah pada waktu itu mendapatkan tawaran menggantikan guru yang sedang cuti melahirkan di SMP swasta yang menurut saya, lumayan bagus. Saya mendapatkan 24jam pelajaran tiap minggunya dengan besar gaji 23 ribu perjam. Jadi sebulan jika dihitung saja mendapatkan gaji 552.000. UMR kota semarang saat itu adalah 1.400.000. Hmm..

Saya bersyukur setidaknya bisa buat mencukupi kebutuhan buat makan sehari-hari.Selesai menggantikan guru yang cuti melahirkan, saya putuskan untuk pulang ke kampung halaman. Di kampung halaman, beberapa pabrik sedang gencar gencarnya dibangun. Beberapa teman kampung yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mencoba melamar dan kebanyakan diterima. Saat sedang berbincang dengan orang tua, orang tua saya mengubgkpakna bahwa teman2 saya yang bekerja di pabrik tersebut mendapatkan gaji sebesar 1.500.000. Hmm.. Saya harus menarik nafas panjang ketika orang tua mengungkapkan gal tersebut. Bukan karena iri sebenarnya, tapi lebih pada beban terhadap orang tua saya. Seakan-akan saya mendengar kalimat seperti ini, "tuh, temanmu saja yang hanya lulusan SMA gajinya 1.500.000, seharusnya kamu yang lulusan sarjana, bisa lebih dari itu". Ah, suara setan di sebelahku itu cepat2 kutepis.Melihat realita diatas, beberapa teman saya yang memiliki tinggi yang cukup dan berwajah cantik atau tampan, pindah haluan ke pekerjaan pekerjaan menjadi customer Service, teller bank, dan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dilihat dari segi gaji.Saya mengemukakan pengalaman ini bukan untuk curhat atau untuk mengeluh. Saya menulis ini semata-mata untuk kebaikan kelanjutan kondisi bangsa ini. Semoga saja, kita semua sadar akan masalah ini dan mencoba untuk menyelesaikan dengan baik. Apalagi saya prihatin animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di jurusan pendidikan masih terbilang tinggi. Akhir kata, selamat hari guru. Semoga guru tidak hanya pengabdian kepada bangsa dan negara tanpa kehidupan yang layak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline