Esai karya pak Bernando J. membahas fenomena penggunaan campuran bahasa Indonesia dan Inggris, atau sering disebut "Indonenglish," yang semakin meluas di masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan generasi muda urban. Namun, fenomena ini juga telah merambah daerah-daerah pelosok. Salah satu faktor yang mempercepat proses ini adalah sejarah kolonialisme yang dialami negara-negara di ASEAN. Seiring dengan perkembangan zaman, khususnya di era digital, kekhawatiran terhadap pelestarian bahasa Indonesia semakin meningkat. Pengaruh bahasa asing, terutama Inggris, dianggap berpotensi melemahkan identitas budaya dan bahasa nasional.
Menurut penulis, praktik "Indonenglish" awalnya marak di kota-kota besar dan didorong oleh gaya berbahasa para selebritas yang sering menggunakan campuran bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Namun, ada pertanyaan yang muncul: mengapa fenomena ini terus berkembang dan bahkan semakin meluas? Salah satu jawaban yang ditawarkan penulis adalah konsep "captive mind" atau pikiran yang terperangkap oleh perasaan inferior terhadap budaya asing. Dalam konteks Indonesia, banyak individu yang merasa lebih percaya diri atau modern ketika menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, meskipun hanya dalam bentuk campuran dengan bahasa Indonesia.
Generasi Z, yang mendominasi demografi Indonesia saat ini, lahir bersamaan dengan perkembangan pesat teknologi internet dan media sosial. Mereka tumbuh di era digital, di mana informasi dari berbagai belahan dunia mudah diakses, dan penggunaan bahasa Inggris di media digital menjadi sangat lazim. Teknologi dan media sosial menjadi platform utama yang mempertemukan generasi ini dengan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini semakin diperkuat oleh berbagai faktor lain, seperti iklan, dan gaya hidup. Media, baik luring maupun daring, juga berkontribusi pada penyebaran dan normalisasi penggunaan bahasa campuran ini.
Dari sudut pandang lain, konsep masyarakat jaringan atau network society yang diperkenalkan oleh Manuel Castells juga relevan dalam menganalisis fenomena ini. Castells menyatakan bahwa masyarakat modern saat ini didominasi oleh informasi, teknologi, dan komunikasi digital. Dalam masyarakat seperti ini, jaringan sosial yang terhubung melalui media digital menjadi semakin penting. Penggunaan bahasa Inggris dalam interaksi online tidak hanya dipengaruhi oleh keinginan untuk terlihat modern, tetapi juga sebagai alat untuk memperluas jaringan sosial dan akses ke informasi global. Bahasa Inggris, dalam hal ini, menjadi bahasa penghubung antarnegara dan antarkomunitas yang tersebar di seluruh dunia.
Hal menarik dari esai ini adalah di tengah pengaruh bahasa asing yang semakin kuat, penulis tidak hanya sekadar mengkritik fenomena ini, tetapi juga menawarkan beberapa solusi untuk menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia. Beliau menekankan pentingnya peran sistem pendidikan, lembaga bahasa, dan kebijakan pemerintah dalam melindungi bahasa nasional. Salah satu kebijakan yang berpotensi adalah memanfaatkan Program Merdeka Belajar sebagai instrumen strategis untuk memperkuat penggunaan bahasa Indonesia. Program ini dianggap memiliki potensi besar dalam membangun kesadaran generasi muda tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai identitas nasional.
Penulis menggarisbawahi bahwa untuk menjaga bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat, mulai dari institusi pendidikan, lembaga bahasa, hingga kebijakan pemerintah, menjadi kunci dalam menghadapi pengaruh bahasa asing. Selain itu, upaya bilateral dengan negara lain juga dapat membantu memperkuat posisi bahasa Indonesia di tingkat internasional. Dalam konteks global, bahasa Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang, terutama jika didukung oleh kebijakan yang kuat dan strategi yang tepat.
Menurut saya, secara keseluruhan esai ini sudah sangat baik. Ada beberapa konsep yang menjadi pengetahuan baru bagi saya, seperti konsep dari captive mind yang bisa dipahami sebagai pikiran yang jumud/terkurung. Serta kosakata inferioritas atau merasa lebih rendah.
Kembali lagi dalam isi esai tadi, sebenarnya bahasa Inggris itu dapat bermanfaat jika digunakan dengan bijak, tanpa harus mengancam identitas kita. Jadi, sebaiknya ada keseimbangan antara belajar bahasa asing dan tetap melestarikan bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H