‘Orang Bijak bayar Pajak’, ‘Kalau tidak bayar Pajak, apa kata dunia’? begitu slogan yang selalu didengung-dengungkan. Iklan-iklan seperti ini hampir selalu ada di televisi. Lucu sekali. Berarti yang tidak bayar pajak sama saja orang yang tidak bijak? Benarkah demikian? Sempit sekali tolak ukur yang dibuat oleh si pemilik trademark slogan ini (baca:Dirjen Pajak).
Rakyat Indonesia tidak memiliki negerinya sendiri. Mungkin Cuma numpang. Karena numpang itulah, rakyat di wajibkan bayar pajak. Lihat saja, pajak dikenakan secara merata diseluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, termasuk rakyat miskin. Ada banyak jenis pajak dalam negeri seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, juga pajak-pajak lainnya. Semua menguras uang rakyat menengah kebawah. Pasalnya, jumlah rakyat miskin masih mendominasi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Secara legalitas yang diatur dalam UU, rakyat miskin memang tidak dikenakan pajak. Tetapi pada faktanya, rakyat miskin juga terkena PPn. Rakyat miskin tidak membayar pajak, tetapi terkena ‘pajak’ ketika membeli barang. Membeli sembako di pasar dan warung pun terkena ‘pajak’. Membeli pulsa terkena ‘pajak’. Bahkan membeli mi instan saja terkena ‘pajak’. Anda bahkan bisa menyebutkan barang apa yang lolos dari ‘pajak’.
Negeri ini negeri kaya. Coba silakan anda cari dipeta dunia, adakah negeri lain yang sumber daya alamnya melimpah ruah seperti Indonesia? Hutan tropis nan hijau dengan pohon-pohon kayu yang berkualitas, Indonesia punya. Lautan dengan keanekaragaman hayati, Indonesia punya. Minyak bumi dan barang tambang yan teruji kualitasnya, Indonesia punya. Tanah subur dengan anatomi yang berbeda disetiap daerahnya menjadikan Indonesia sebagai penghasil berbagai jenis tanaman yang berkomoditas tinggi dari akar hingga dahannya. Luar biasa. Indonesia itu punya segalanya, Bung. Bahkan seharusnya dengan SDA yang dimiliki Indonesia bisa menjadi negeri yang lebih makmur dari Jepang atau Amerika. Pertanyaanya sekarang , kemana hasil –hasil Sumber daya alam yang seharusnya menjadikan Indonesia sejahtera?
Pada faktanya, justru banyak kekayaan alam Indonesia ‘di curi’ dan ‘di bawa lari’ . Hasil hutan, barang tambang, minyak bumi, dan lain-lain yang sejatinya milik rakyat, malah diserahkan begitu saja oleh pemerintah kepada pihak swasta dan asing atas nama privatisasi. PT. Freeport sebagai pengelola tunggal emas dan tembaga di bumi Papua. Miliaran barrel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon mobile. Bahkan yang sempat diributkan tapi tak jelas akhirnya adalah Kontrak blok gas Tangguh yang berpotensi merugikan Negara Rp 750 triliun diberikan ke Cina.
Potensi Alam Indonesia seperti di lelang kepada para pemilik modal besar , dengan pembagian Indonesia mendapat laba tak pernah lebih dari 30%, bahkan 0%. Dan laba yang tak lebih dari 30% tersebut akhirnya jatuh kepada kantong-kantong oknum tertentu. Dengan kata lain, di Korupsi. Nah, rakyat dapat apa? Hanya ampas yang kita dapat. Kerusakan lingkungan dimana-mana akibat eksplorasi yang tidak bertanggungjawab. Siapa yang merasakan pertama kali? Rakyat.
Tahun 2006 saja, pajak menyumbangkan 75% APBN, sedangkan pengelolaan SDA yang melimpah ruah namun diserahkan kepada pihak swasta dan asing hanya menyumbang 25% dari jumlah APBN. Seharusnya, dengan asumsi 75%, pajak dari rakyat itu bisa mensejahterakan rakyat. Namun sayangnya, Setiap APBN yang disusun pemegang kebijakan selalu tidak pro rakyat. Sebagai contoh, RAPBN 2010 dinilai masih pro birokrasi dari kalangan kapitalis. Hal ini bisa dilihat dari menurunnya anggaran subsidi untuk rakyat dari Rp.166,9 triliun(RAPBN 2010) menjadi Rp.144,3 Triliun(RAPBN 2010). Sebaliknya, pengeluaran justru didominasi oleh peningkatan gaji para pejabat dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp. 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi sebesar Rp.115 Triliun. Bandingkan dengan alokasi belanja Pemerintah untuk perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM, yang HANYA sebesar Rp 1,5 Triliun. Alokasi belanja untuk pertanian, kehutanan, dan perikanan dan kelautan di bawah Rp. 9 Triliun.
Penerimaan Negara terbesar dari pajak sebenarnya berasal dari rakyat. Baik itu pajak langsung maupun tidak langsung yang di bebankan kepada rakyat. Dan ketika pajak sudah terkumpul, alokasi terbesar ternyata bukan untuk rakyat. Misalnya pajak transportasi, apakah penerimaan dari pajak sesuai dengan fasilitas yang warga terima? Contohnya Kemacetan Jakarta dari tahun ke tahun makin parah, rusaknya infrastruktur (lampu lalulintas, papan penunjuk jalan, marka jalan, dll) tidak segera diperbaiki sampai berbulan-bulan. Ini Kedzaliman namanya. Rakyat telah didzalimi oleh negerinya sendiri. Tercekik oleh sistem kapitalis yang dianutnya. Terjengkal dan dilindas oleh roda keji para Penguasa yang berleha-leha dengan amanahnya.
Dan kita yang ada diposisi rakyat, kitalah yang harus menajamkan pembacaan politis kita atas gerak-gerik yang dilakukan para birokrat. Jangan mau menjadi cicak-cicak kecil yang hanya cukup memakan nyamuk. Yang penting diri sendiri tercukupi dan tidak terusik. Asumsi itulah yang membuat kita lemah. Lemah, bahkan ketika para generasi muda cerdas berlabel teknokrat lulusan perguruan tinggi di tarik ke perusahaan perusahaan asing yang menghabiskan secara rakus kekayaan alam kita. Sayang, mereka tidak tersadar. Pikiran mereka disumpal oleh gaji-gaji belasan dan puluhan juta yang terkategori tinggi untuk para fresh graduate. Tapi tahukah anda, kawan, Bos-bos kalian justru meraup ratusan miliar bahkan triliunan laba untuk memenuhi pundi-pundi kekayaan pribadi.
Ternyata kita hidup di Negara Pemalak. Negeri yang birokrasinya dikuasai oleh para ‘preman’ tak berhati nurani. Memungut pajak sama saja dengan memalak rakyat. Dan hanya ‘preman’ tak berhati nurani yang memalak korbannya tanpa pandang bulu. Kalau begitu siapa yang bijak?
Pada akhirnya kita butuh solusi. Di dalam sistem ekonomi Islam dalam naungan negara Islam, pemerintah tidak diperkenankan bahkan diharamkan memungut pajak secara rutin dan terstruktur. Kalaupun ada pajak, hanya pada kondisi tertentu dan darurat. Itupun dengan syarat-syarat yang ketat . Selebihnya, Negara(daulah Islam) mengoptimalkan pembiayaan Negara pada pengolahan SDA yang sungguh-sungguh dengan distribusi yang tepat bahkan sampai ke pelosok negeri yang terpencil.
Nurina P.Sari — Mahasiswi,Jurnalis–