Judul: Saman
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: PT Grafika Mardi Yuana
Cetakan: ke-37, Maret 2023
Tebal: X +206 halaman
ISBN: 978-602-424-399-9
Peresensi: Nur Imaniyah Purnama (Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo)
Berbicara tentang sastra tentunya tidak bisa lepas dari realita masyarakat. Seperti dalam teori mimesis Plato yang berpandangan bahwa sastra merupakan bentuk tiruan alam atau kehidupan manusia. Sebuah kehidupan terdapat berbagai masalah sosial masyarakat. Masalah sosial yang begitu kompleks dapat menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup. Salah satu masalah sosial yang sangat vital yaitu kasus penindasan. Penindasan dalam kehidupan sehari hari sangat lazim terjadi, akan tetapi dalam dunia sastra masih ganjil untuk diterima. Lalu bagaimana gambaran penindasan yang tersaji dalam karya sastra?
Karya sastra terdahulu yang menggambarkan penindasan dalam alur kisahnya adalah Saman. Ayu Utami dalam novel Saman, mengisahkan suatu perbuatan besar dalam mengatasi problematika kemanusiaan dan keadilan yang terjadi pada masa orde baru, tepatnya di desa Prabumulih tahun 1983. Pengarang mengisahkan penindasan terjadi di tempat pastor bernama Wisanggeni. Peran tokoh Wisanggeni dalam novel tersebut tidak lain melayani umatnya, seperti: membangun pembangkit listrik mini dan mendatangkan pupuk dari kota. Sementara itu pada tahun 1993 bertempat di Lautan Cina Selatan. Perempuan yang lahir di Bogor Jawa Barat itu mengisahkan penindasan pada pekerja perusahaan minyak yang mendapat konsensi menggali di perairan kepulauan Anambas.
Melalui alur maju mundur, pengarang bercerita pada fragmen waktu tahun 1983. Sub bab "1983, Dia Belum Memakai Nama Itu: Saman" berkisah pemberontakan terjadi saat karyawan perusahaan berusaha menghancurkan kebun karet yang berada di Lubukrantau. Mereka ingin mengambil lahan warga yang tidak berdaya untuk dijadikan kebun sawit. Bahkan dengan kekejiannya mereka melakukan tindakan tidak senonoh (pemerkosaan) kepada gadis desa yang berkebutuhan khusus. "Anson yakin bahwa pemerkosaan itu adalah salah satu bentuk terror dari orang-orang yang hendak merebut lahan itu. Orang itu sengaja melakukannya agar kita menyerahkan kebun." (hal. 91).
Sementara, pada Februari 1993 di Lautan Cina Selatan. Pengarang mengisahkan penindasan yang dialami Hasyim. Saat dengan terpaksa ia harus masuk dan menjalankan alat ke liang sumur tempat minyak bumi terjebak dengan keadaan tidak stabil dan memiliki resiko cukup tinggi hingga menghilangkan nyawanya. "Sekarang kamu yang in charge disini. Run alat itu! Kalau tidak, Seismoclypse terpaksa bayar ganti rugi." (hal.15)