Lihat ke Halaman Asli

Hargai Suaramu!

Diperbarui: 10 April 2019   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ombudsman.go.id

Dalam politik dewasa ini sudah sepantasnya jika pemilu berlangsung tanpa bumbu Money Politic. Namun tak bisa dipungkiri jika hal tersebut berkembang pesat dan berlangsung hingga saat ini karena murahnya 'suara' masyarakat Indonesia---tanpa peduli kebebasan dan idealisme yang dibelenggu oleh kaum kapitalis untuk memuluskan langkah duduk di atas singgahsana.

Tak banyak yang sadar dengan terbelinya suara untuk kepentingan pemilu---kususnya generasi milenial, "yang penting ada uangnya nanti saya pilih". Setelah pelaku politik tersebut mulus dalam pemilu dan berhasil duduk di atas singgahsana, tak perlu waktu lama untuk merong-rong hak masyarakat lainnya.

Disaat bersamaan mereka yang terbeli suaranya berteriak---"hak-hak kami telah dirampas oleh penguasa". Lho bukankah kita sendiri yang menjual hak kita demi uang yang tak seberapa? (buat beli kopi dan rokok sehari sudah raib). Mengapa harus protes saat hak-hak kalian yang lain diberangus, kebebasan kalian dibungkam, dan kemudian kalian melawan dengan lantang?---itu tindakan yang sangat naif bung.

Lalu bagaimana menyikapi itu semua?

Langkah awal kita harus sadar bahwa suara yang kita miliki sangat berharga dan tak bisa dibeli. Dengan kesadaran hal ini menjadikan kita tak sembarangan untuk menggadaikan suara demi rupiah yang tak seberapa. Lambat laun hal  ini juga dapat merubah mindset pelaku politik bahwa suara masyarakat tak mampu dibeli dengan uang.

Selanjutnya kita harus banyak belajar bagaimana sistem demokrasi, birokrasi, dan kenegaraan yang ideal, gaya kepemimpinan yang mampu diterima, dan sesuai dengan kultur dimana kita bernegara---bukan berarti kita harus memilih pemimpin berdasarkan SARA.

Hilangkan sistem yang kacau dalam kita memilih, tak perlu satu Suku, Agama, Ras, dan Golongan. Karena kita bukan memilih pemimpin adat, bukan pula memilih pemuka agama, dan juga negara kita bukan penganut sistem oligarki.

Selanjutnya belajar objektif dalam memilih calon yang menurut kita memiliki kapasitas, kapabilitas, idealisme, dan integritas yang mampu mewakili pemimpin ideal menurut kita masing-masing. Hal ini meminimalisir perampasan hak-hak kita oleh mereka yang rakus kekuasaan.

Saat semua langkah telah kita jalani namun hak-hak kita masih diberangus oleh penguasa. Saat itu pula kita bersama-sama menyingsing lengan untuk melakukan perlawanan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline