Fenomena yang terjadi saat ini di Indonesia tentunya sangat banyak dan beragam seiring berkembangnya teknologi dan informasi, diantaranya yaitu terkait perekonomian atau yang disebut dengan Deflasi. Deflasi merupakan penurunan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam periode waktu tertentu. Ini merupakan sebuah kondisi di mana nilai mata uang yang meningkat, biasanya terjadi karena pengurangan jumlah uang kertas yang sudah beredar dalam suatu masyarakat lebih relatif kecil daripada jumlah barang yang tersedia. Menurut Ekonom Stacia E. H Sitomang, deflasi merupakan sebuah peristiwa di mana secara umum harga suatu barang mengalami penurunan. Deflasi adalah kebalikan dari inflasi yang di mana para ahli juga sering menyebutnya dengan disinflasi. Di satu sisi, deflasi dapat membertikan keuntungan jangka pendek bagi konsumen karena harga-harga turun, sehingga daya beli Masyarakat tampak meningkat. Tetapi disisi lain dalam jangka waktu yang Panjang dampaknya bisa sangat merugikan bagi perekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi pada bulan September 2024 sebesar 0,12 persen. Ini menunjukkan tren deflasi berlanjut secara berturut-turut dalam bulanan (month-to-month), bahkan lebih tinggi daripada bulan sebelumnya yang hanya mencapai 0,03 persen. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat mengenai dampak yang akan didapatkan bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut menjadi yang terlama sejak 1999, yaitu setahun setelah terjadi krisis pada tahun 1998, ketika Indonesia sempat mengalami deflasi selama 7 bulan berturut-turut.
Penurunan harga yang terus-menerus sering kali merupakan indikasi bahwa permintaan terhadap barang dan jasa menurun, baik karena konsumen menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih jauh, maupun karena ketidakpastian ekonomi yang mendorong orang untuk lebih banyak menabung daripada membelanjakan uang yang mereka punya. Ketika permintaan turun, perusahaan mengalami kesulitan untuk menjual produk mereka, sehingga perusahaan dapat mengurangi tingkat produksi, memotong upah para pekerja, atau bahkan memberhentikan pekerja (PHK). Kementrian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK itu sebagian besar berasal dari sektor manufaktur. Tiga provinsi dengan angka PHK terbesar adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Prediksi Ekonom Andri Perdana tentang potensi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga akhir tahun ini bisa mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja dan menimpa hampir semua industri ini menggambarkan situasi yang sangat menghawatirkan, terutama bagi kelas pekerja. Salah satu factor utama dibalik masifnya gelombang PHK ini adalah perusahaan-perusahaan yang dinyatakan pailit atau memilih untuk relokasi ke daerah dengan upah minimum yang lebih rendah. Meskipun keputusan ini logis secara bisnis untuk mengurangi biaya operasional, tetapi memiliki dampak yang merugikan bagi tenaga kerja.
Data yang dirilis oleh BPJS Ketenagakerjaan, dengan 2,07 juta klaim Jaminan Hari Tua (JHT) hingga Agustus 2024, menunjukkan besarnya jumlah orang yang kehilangan pekerjaan atau memutuskan untuk mengundurkan diri. Pencairan JHT yang umumnya dilakukan setelah PHK atau pengunduran diri, menandakan krisis lapangan pekerjaan yang sedang di hadapi. Gelombang PHK ini menurut Andri Perdana sudah pasti akan berdampak langsung terhadap penurunan daya beli masyarakat, terutama pada kelas pekerja yang kehilangan pendapatan. Dampak dari penurunan ini tidak hanya terbatas pada sektor bisnis, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau pendapatan mereka karena berkurang akibat pemotongan upah, otomatis daya beli masyarakat juga ikut menurun di karenakan mereka membatasi pengeluaran hanya untuk kebutuhan prioritas seperti makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Penurunan daya beli ini menciptakan siklus deflasi yang semakin parah, karena dengan sedikitnya pendapatan yang diterima atau uang yang dibelanjakan, permintaan terhadap barang dan jasa akan terus menurun, dan itu menyebabkan harga-harga turun lebih lanjut. Pada akhirnya, kondisi deflasi ini dapat memperburuk krisis ekonomi karena menurunnya konsumsi dan investasi, serta menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang lebih dalam.
Minimnya lapangan kerja di Indonesia semakin diperparah oleh terbatasnya pembukaan lapangan kerja baru di sektor padat karya pada lima tahun terakhir. Sektor ini yang biasanya menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, tetapi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Padahal sektor padat karya dianggap penting dalam menciptakan peluang bagi pekerja untuk naik kelas menjadi kelas menengah. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan yang sebaliknya, sebanyak 9,48 juta orang yang sebelumnya masuk dalam kategori kelas menengah justru turun menjadi kategori kelas bawah, menyisakan hanya 47,85 juta warga kelas menengah. Penurunan jumlah ini menandakan adanya stagnasi atau bahkan kemunduran dalam peluang ekonomi bagi Masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang bergantung pada pekerjaan dari sektor padat karya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan pemerintah yang lebih focus pada sektor padat modal seperti pertambangan, yang lebih menguntungkan bagi investor besar, tetapi tidak menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang besar. Akibatnya, banyak pekerja yang kehilangan peluang untuk mendapatkan pekerjaan, sementara kelas menengah diharapkan tumbuh dari sektor tersebut justru malah menurun.
Tingginya suku bunga juga menyebabkan terjadinya deflasi. Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6% pada September 2024 dari yang sebelumnya 6,25% menandakan upaya otoritas moneter untuk mendorong perekonomian di tengah berbagai tantangan, termasuk deflasi dan melemahnya daya beli masyarakat. Sebelumnya, suku bunga yang tinggi dipertahankan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama dalam menghadapi ketidakpastian global. Namun, meskipun suku bunga kini sudah diturunkan Ekonom dari bright institute, Muhammad Andri Perdana, menegaskan bahwa langkah tersebut mungkin belum cukup untuk mengatasi lonjakan deflasi dalam beberapa bulan mendatang. Salah satu efek dari suku bunga tinggi yang bertahan sebelumnya adalah bahwa uang yang beredar di Masyarakat menjadi "lebih mahal" artinya akses terhadap pinjaman menjadi lebih sulit dan mahal. Hal ini mengurangi likuiditas di pasar dan mempengaruhi konsumsi serta investasi. Penurunan suku bunga yang baru-baru ini dilakukan diharapkan dapat memberikan stimulus, dan kemungkinan belum cukup untuk memulihkan perekonomian secara langsung, terutama karena adanya faktor-faktor mendasar yang lebih besar, seperti terjadinya PHK massal dan kurangnya pembukaan lapangan kerja baru yang masih belum teratasi.
Permasalahan diatas menurut saya cukup kompleks, di mana sulitnya mendapatkan pekerjaan formal di Indonesia memiliki tantangan yang dihadapi oleh Masyarakat, terutama dalam kategori kelas menengah ke bawah dan kalangan muda. Upaya untuk mengatasi deflasi tentunya harus didukung oleh pemerintah, diantaranya pemerintah perlu mendorong pertumbuhan lapangan kerja melalui investasi terutama di sektor padat karya sangat penting untuk mengatasi tingginya angka pengangguran, dan mengembangkan sumber daya manusia melalui pelatihan vocational skills bagi anak-anak muda untuk meningkatkan kreativitas atau keterampilan mereka. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat membantu Masyarakat mendapatkan peluang ekonomi yang lebih baik dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Jadi, deflasi yang terjadi di Indonesia saat ini memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Meskipun deflasi jangka pendek dapat meningkatkan daya beli karena harga barang yang turun, tetapi dampak jangka panjang terhadap deflasi ini justru merugikan, seperti terjadinya penurunan permintaan, gelombang PHK yang meningkat, dan kurangnya daya beli Masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh minimnya penciptaan lapangan kerja yang baru di sektor padat karya dan tingginya suku bunga yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memperbaiki situasi ini, dengan mendorong investasi di sektor padat karya dan memberikan pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja guna meningkatkan peluang ekonomi dan mengatasi krisis ketenagakerjaan. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia diharapkan dapat keluar dari siklus deflasi dan memulihkan stabilitas ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H