Lihat ke Halaman Asli

Nur Iftita

(´・_・`)

Omotenashi dan makanan halal di Jepang

Diperbarui: 26 Juli 2021   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Pendahuluan
Jepang adalah negara yang memiliki budaya unik dengan latar belakang Budha, Shinto, dan Konfusius. Pemujaan Budha, Shinto, dan Konfusiun ini menyebabkan banyaknya jumlah kuil-kuil di Jepang. Banyak tempat tujuan wisata yang merupakan tempat pemujaan masyarakat Jepang, seperti Asakusa di Tokyo, Itsukushima Jinjya di Hiroshima atau Dasaifu Tenmangu di Fukuoka. Dengan adanya tempat wisata yang indah dan beersih terawat membuat banyak wisatawan berkunjung untuk ikut menikmati keunikan dan keindahan Jepang. Wisatawan yang berkunjung berasal dari tidak hanya berasal dari Jepang namun  dari mancanegara muslim.

B. Isi

Asal Usul Makanan Halal

Pada awal tahun 1980-an muslim yang tinggal di Jepang mengalami kesulitan mendapatkan makanan halal. Namun pada suatu kondisi ekonomi Jepang yang sedang menghadapi krisis dan diikuti meningkatkan pemahaman atas makanan halal di Jepang. Hal ini mendorong pemerintah Jepang, khususnya Lembaga-lembaga yang berhubungan dengan dunia wisata, untuk memperlihatkan omotenashi dengan menjawab permintaan wisatawan muslim yang mencari makanan halal, baik makanan Jepang atau bukan.

Asal Mula Omotenashi      

Dalam Bahasa Jepang, omotenashi disebut juga hospitality atau keramah-tamahan. Apakah yang dimaksud dengan keramah-tamahan? Keramah-tamahan dapat dilakukan oleh siapapun di seluruh dunia, maka apa yang dimaksud dengan omotenashi yang khas di Jepang bila dilihat dari tulisannya omotenashi terdiri dari karakter (motenashi) yang berarti cara melayani tamu, hidangan yang disajikan kepada tamu. Di awal kata motenashi diberi tambahan (o) yang menunjukkan kesopanan, sehingga menjadi kata omotenashi. Bila dilihat secara umum, maka omotenashi merupakan perilaku ramah seorang tuan rumah kepada tamunya atau produsen kepada konsumen. Hal ini berlaku dalam perdagangan, dimana seorang pedagang melayani pelanggannya.

Dalam catatan Yamanoue Soji Ki yang ditulis pada tahun (1544-1590) bahwa dalam upacara minum the ala Jepang harus berlatih cara membuat teh seperti gurunya. Dalam hal ini, guru dari Yamanoue Soji adalah Sen no Rikyu (1533-1591), seorang biksu Budha yang sangat menguasai pembuatan the Jepang, sehingga disebut master of tea, karena ialah yang pertama kali mempopulerkan upacara minum teh di Jepang. Untuk menguasai tata cara membuat the yang enak dan tepat harus berlatih berkali-kali dan selama beratahun-tahun. Dalam Latihan diupacara minum the itu pula akan tumbuh apa yang disebut omotenashi. Sen no rikyu memperkenalkan istilah yang disebut ichigo-ichie (), yang berarti satu masa satu pertemuan. Bila diartikan secara luas ichigo-ichie ini dianggap bahwa bila bertemu sekali, maka sedapat mungkin pertemuan itu dimanfaatkan sebaik mungkin, sedapat mungkin tamu atau orang yang dating untuk bertemu itu dilayani sebaik mungkin dengan cara omotenashi, yaitu dengan cara yang paling baik. Ichi-ichie ini dipopulerkan oleh Sen no Rikyu pada zaman sengoku jidai (zaman dimana masih ada peperangan dimana-mana). Sen Rikyu merupakan orang kepercayaan Oda Nobunaga, seorang tokoh besar militer yang bercita-cita mempersatukan seluruh jepang. Setiap kali Oda Nobunaga mengundang tamu-tamu kaum militer, selalu meminta Sen no Rikyu untuk membuatkan teh bagi para tamunya. Karena umumnya tamu yang diundang merupakan militer yang melakukan peperangan, maka Sen no Rikyu membuatkan teh kepada para tamunya itu dengan konsep Ichigo-Ichie. Besar kemungkinan pertemuan yang hanya sekali itu, adalah pertemuan yang terakhir dan tidak ada pertemuan lagi, karena belum tentu mereka dapat kembali dari medan perang dengan selamat.

Restoran Halal

Jumlah wisatawan muslim di Jepang meningkat, tentunya produsen harus menyediakan makanan halal Pada tahun 2015, terdapat 52 restoran halal di Jepang yang tercatat dalam buku panduan wisata oleh Japan National Tourism Organization (JNTO) untuk para wisatawan muslim. Pada awalnya, pemilik restoran halal hanya terbatas pada restoran yang dikelola oleh muslim. Namun saat ini, bisnis kuliner Jepang yang dikelola non-muslim pun mulai melirik ke makanan halal. Pada bulan Oktober 2017 sampai dengan bulan November 2019, terdaftar sebanyak 792 restoran yang menyediakan makanan halal, tetapi diantaranya hanya 185 tempat yang memiliki sertifikat halal.

Sertifikasi Halal di Jepang

Sertifikasi halal menjadi problem tersendiri di kalangan umat Islam. Masing-masing negara Islam atau negara dengan mayoritas berpenduduk Islam memiliki badan sertifikasi halal. Kebanyakan badan sertifikasi halal tidak menerbitkan sertifikat halal bagi perusahaan yang menjual alkohol, namun ada juga badan sertifikasi yang mau menerbitkan. penjual oleh-oleh makanan khas Jepang pun menjawab peluang untuk memasok makanan halal seperti yang diminta oleh konsumen muslim ini. Disinilah peran omotenashi terlihat, yaitu upaya membuat konsumen muslim merasa nyaman dengan keramahtamahan yang diberikan masyarakat Jepang, sehingga kedatangannya ke Jepang memenuhi kepuasan konsumen dan keinginan berkunjung ke Jepang berulang kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline