Sebentar lagi saya akan pensiun.
Sudah puluhan tahun saya menjadi guru. Meski tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi dari pemerintah, profesi inilah jalan ninja saya. Mengutip kalimat yang pernah disampaikan oleh Anies Baswedan ketika menjadi Mendikbud, menjadi guru bukanlah sekedar pekerjaan, melainkan pelukis masa depan. Menjadi guru bukanlah pengorbanan , melainkan sebuah pernghormatan.
Saya mengajar mata pelajaran yang namanya sering berubah, dulu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), berubah lagi menjadi Pendidikan Kewaganegaraan (PKn) dan sekarang pada Kurikulum Merdeka menjadi Pendidikan Pancasila. Disadari atau tidak pelajaran ini menjadi penyumbang nilai terbanyak pada nilai raport. Tujuan pelajaran ini adalah mendidik anak-anak bangsa agar menjadi warga negara yang baik, warga negara yang cerdas dan siap menghadapi perkembangan jaman.
Kewajiban saya adalah menanamkan nilai-nilai Pancasila dengan cara ceramah, diskusi, memberi nasehat, memberi contoh ketauladanan, kedisiplinan secara nyata dan pembiasaan. Meskipun demikian saya tidak mempunyai wewenang untuk menindak siswa yang melakukan pelanggaran seperti waka kesiswaan yang jadi satpol PP nya sekolah. Jika ada pelanggaran yang dilakukan siswa maka yang bertindak adalah wali kelas yang biasanya membujuk merayu siswa agar mau kembali ke jalan yang benar. Langkah berikutnya adalah guru BK yang tugasnya merangkul dan melakukan langkah preventif agar siswa tidak melenceng dari fitrahnya.
Namanya juga siswa, meskipun tak bosan-bosannya kami mengajarkankan nilai-nilai yang baik, toh mereka melakukan pelanggaran juga. Seperti terlambat, membolos, istirahat terlalu lama, berkata kasar, merusak fasilitas sekolah, mencuri, merokok, dan yang sejenisnya. Segala kemungkaran itu tentu saja tidak bisa kami diamkan.
Banyak cara yang kami lakukan menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran. Mulai dari menegur halus dengan memasang senyum termanis sambil meredam dada yang bergejolak. Lalu memberi nasehat agar siswa tidak mengulangi kesalahan yang serupa. Bila perlu dilanjutkan dengan memberi hukuman yang ditentukan dengan sangat hati-hati. Sebenarnya jika menuruti kata hati saya penginnya ngamuk saja.
Menghadapi murid itu tidak sulit, saya bisa saja memulai sesi dengan marah-marah lalu diakhiri dengan minta maaf kepada mereka. Saya tidak malu untuk mmengakui bahwa sebagai manusia biasa saya bisa saja khilaf.
Yang lebih menguras energi adalah saat berhadapan dengan wali murid. Ketika melakukan panggilan terhadap beliau-beliau yang terhormat itu saya harus mempersiapkan diri dengan ucapan-ucapan yang baku, formal dan santun menurut kaidah. Saya harus berlatih menahan diri, tidak boleh kasar, tidak boleh misuh sambil mengumpulkan segala bukti pendukung agar tidak dianggap ngeprank.
"Kok bisa?"."
"Anak saya di rumah baik-baik saja, tidak pernah bikin ulah."
"Kenapa ada jam kosong?"