Lihat ke Halaman Asli

Nurifah Hariani

Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Saya, Madura Swasta

Diperbarui: 1 Januari 2025   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto by Anggara Wikan Prasetya di Kompas.com

Ternyata di dalam diri saya mengalir darah Madura meskipun bukan yang ori, leluhur saya adalah Madura Swasta.  Saya punya saudara di Probolinggo, Lumajang dan Bondowoso, ada juga saudara di Pamekasan tetapi pindahan dari Madiun. Dari beberapa tempat itu saya paling sering berkunjung ke Bondowoso, kakak pertama lahir dan dapat jodoh orang sana.

Bahasa dan budaya Bondowoso sangat dekat dengan Madura Ori. Misalnya dalam hal penyebutan warna hijau menjadi 'biruh'. Ketika makan di warung soto, si penjual bertanya kepada si anak kecil yang anaknya orang  Bondowoso asli.  "Pake daun biruh, tidak?" Si anak menggeleng. Saya yang tercengang, soto apa ini kok pake daun biru?  Eladalah setelah dijelaskan saya baru paham, daun biru yang dimaksud adalah daun selederi, yang warnanya hijau.

Bapak juga pernah bercerita dulu kakak saya itu pernah hampir gagal masuk STM Negeri (sekitar tahun 1978) karena dianggap buta warna. Ketika dites warna hijau kakak menjawabnya biru. Tetapi ketika ditanya apa warna lampu di perempatan, kakak bisa menjawab merah, hijau dan kuning. Si Bapak Guru yang mengetes sontak tertawa ketika Bapak menjelaskan, "Ini orang Madura  Pak, tidak mengenal warna hijau."

Entah bagaima ceritanya, dalam kamus besar perbendaharaan kata bahasa Bondowoso, tidak ada istilah untuk warna hijau. Jadi warna biru merepresentasikan dua warna yaitu warna hijau dan biru.

Saudara yang ada di Bondowoso itu juga tidak bisa mengucapkan satu huruf konsonan dengan baik dan benar. Contohnya huruf 'B' yang sendirian akan diucapkan 'EBBE' , 'P' diucapkan 'EPPE'. Perhatikan saya tulis konsonannya dobel karena mereka  melafalkannnya dengen penuh penekanan yang benar-benar mantap.

Keunikan lain adalah menghilangnya huruf  'W' dalam khasanah bahasa Bondowoso. Mereka menyebut kotanya adalah 'Bendebesah', Wringin menjadi 'Bringin", Wonosari  menjadi 'Bensareh' , saya pun disebutnya orang 'Jebe'.

Ketika saya menertawakan keunikan tersebut  mereka menantang saya untuk mengucapkan "Bedde beddahnya beddak  beddah" . Huruf 'd' saya tuliskan dobel karena penekanannya terjadi disitu. Saya ditantang untuk mengucapkan berulang-ulang, dan sebagai orang 'Jebe' , saya tidak bisa. Pengucapan 'd' saya dianggap kurang mantap, terlalu enteng, kurang bertenaga.

Kalian bisa mencobanya, percayalah, ANGEL!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline