Pekan lalu murid saya menjadi Juara 1 katagori grup dalam Indonesian Culture Festival , Harmony in East Java yang diselenggarakan Malang Town Square. Mereka mewakili SMP Islam Ma'arif 03 Malang yang beralamat di Jl. Alumunium 30 Malang. Sekolah dengan visi Sekolah Sa'Ngajine itu mempunyai beberapa kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka dan Baca Tulis Al-Quran yang wajib diikuti semua siswa dan kegiatan ekskul pilihan ada futsal, bela diri, volley ball, banjari dan tari tentu saja.
Dinda, Virna dan Eca menampilkan Tari Gandrung yang merupakan tari tradisional dari Banyuwangi yang dulu dikenal dengan nama Blambangan.
Gandrung artinya tergila-gila atau terpesona. Tarian ini menunjukkan terpesonanya masyarakat Blambangan kepada Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi mereka. Semula tari gandrung ditujukan sebagai hiburan semata, terutama bagi para pembabat hutan dan mengiringi upacara untuk meminta selamat karena proses pembabatan hutan yang angker.
Sejarah tari gandrung tidak bisa dilepaskan dari Perang Puputan Bayu yang memuncak pada 18 Desember 1771. Perang ini terjadi di Bayu atau Kecamatan Songgon sekarang. Perang ini sebagaimana diakui oleh pihak Belanda adalah perang yang paling menegangkan, paling kejam dan paling banyak memakan korban dari semua perang yang pernah dilakukan VOC di seluruh Indonesia.
Belanda menyebut peristiwa itu sebagai "De Dramatische Vernictiging Van Het Compagniesleger" karena saat itu para pejuang Blambangan melakukan serangan umum secara puputan atau habis-habisan terhadap benteng VOC. Mereka maju serentak dan mendadak dengan teriakan-teriakan histeris untuk meruntuhkan semangat musuh dengan membawa apa saja sebagai senjata seperti golok, keris, pedang, tombak juga senjata api hasil rampasan dari tentara VOC atau pun yang dibeli dari orang-orang Inggris yang membuka kantor dagang di Tirtaganda (Banyuwangi). Rempeg, pemimpin pejuang Blambangan yang selalu berada di depan, gugur. Namun pasukan VOC luluh lantak. Van Scharr, komandan VOC dan Letnan Koret Tinne terbunuh. Sisanya, yang tak terlalu banyak melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sakit.
Kepala Van Scharr dipotong, ditancapkan ke ujung tombak dan diarak keliling desa. Tentang Van Scharr ada cerita yang mengerikan dari Van Wikkerman yang menjadi residen Blambangan pada tahun 1800-1818. Ia menulis bahwa mayat Van Scharr dipotong-potong, dimasak lalu dimakan oleh para pemberontak yang buas. Tentu saja ini adalah propaganda provokatif khas penjajah. Pasukan Bayu waktu itu tidak mungkin melakukan kanibalism karena memeluk agama Islam juga Hindu.
Demi merebut Blambangan kembali, VOC melakukan panggilan umum kepada seluruh bupati taklukannya di pantai utara Jawa. Sampai pada Agustus 1772 sudah datang sekitar 10.000 prajurit VOC dari seluruh Jawa dari garnisun-garnisun Batavia, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Madura dan daerah-daerah di pantai utara Jawa disertai peralatan perang yang lengkap. Pejuang Bayu mulai terdesak dan lebih banyak bertahan.
Pada 11 Oktober 1772, benteng Bayu berhasil dikuasai VOC. Pejuang yang tertangkap, dibunuh, kepalanya dipotong lalu digantung-gantungkan di pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak pagar sepanjang jalan desa. Laki dan perempuan yang ditawan , tidak sedikit yang dihukum mati dengan ditenggelamkan di laut, disiksa, direjam dan ada yang dibuang ke Surabaya atau ke Batavia untuk dijadikan budak.
Perang ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 rakyat Blambangan baik yang gugur, hilang atau pun yang menyingkir ke hutan. Jumlah yang sangat besar mengingat saat itu penduduk Blambangan sekitar 65.000 orang.
Untuk merebut Blambangan dalam perang ini VOC telah menghabiskan dana seharga 8 ton emas. Pimpinan VOC di Batavia menyebut "tidak sumbut" artinya tidak sesuai dengan kemungkinan apa yang dapat diperoleh sebagai imbalan kemenangan VOC di Blambangan ini.