Lihat ke Halaman Asli

Nur Hikmah

an avid learner

Sihir Jogja

Diperbarui: 23 Maret 2023   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Kurang lebih 2 minggu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Jogja dengan siswa/i di sekolah tempat saya mengabdi. Hingga saat ini, perjalanan tersebut masih jadi topik pembicaraan di sekolah. Kami masih menceritakan kembali kejadian-kejadian lucu di sana. Beberapa dari kami juga masih sesekali memasang foto-foto di sana untuk status WA. Kami masih membagikan video yang telah disunting selama perjalanan. Bahkan siswa/i juga demikian, mereka menyapa saya dengan kalimat "bu Jojga lagi yuk." Sepertinya kami memang masih gagal move on dari pesona kota Jogja. Saya bertanya-tanya apa yang membuat Jogja begitu menyihir kami? 

Saya berani bilang bukan kulinerlah yang membuat kami gagal move on. Selama 3 hari di sana, kami memang tidak pernah mengeluhkan soal rasa makanan. Tapi jujur saja, kami juga tidak menggap makanan di sana istimewa. Es dawet yang saya minum di pelataran candi Borobudur tidak lebih enak dari yang dijual di pinggir jalan dekat rumah saya. Bahkan nasi goreng pinggir jalan yang aromanya sangat menggoda sekali saat kami melintaspun rasanya tidak sesuai ekspektasi. Begitu pula dengan makanan di restoran yang kami kunjungi, semuanya biasa saja. 

Warisan budayanyakah yang membuat kami selalu terkenang akan Jogja? Tidak bisa dipungkiri Jogja kaya akan warisan budaya. Kami sempat mengunjungi keraton juga masjid Gedhe Kauman yang sangat cantik. Tapi saya rasa itu bukan alasan kami terpesona akan Jogja. Hal itu bisa saya simpulkan karena itu bukan bagian dari hal-hal yang kami utarakan saat bercerita tentang Jogja. Kami juga sangat senang luar biasa saat mengendarai mobil jip untuk lava tour Merapi. Namun, jika dibandingkan dengan kunjungan ke Jogja pada 2019 tanpa lava tour Merapi sekalipun kami juga tetap tidak berhenti membicarakan perjalanan tersebut selama berminggu-minggu. 

Jika saya ingat-ingat kembali, perasaan damailah yang saya rasakan selama di sana. Suasana di Jogja entah bagaimana membuat saya (dan mungkin teman-teman juga) merasakan ketenangan: tidak ada orang yang berdesak-desakkan dan tergesa-gesa entah mau kemana, tidak ada pedagang yang memaksa untuk dibeli bahkan merayupun tidak, tidak ada pengamen atau pengemis yang memaksa untuk diberi uang, tidak ada suara klakson yang saling bersahutan, seperti tidak ada kesibukan... Semuanya tampak santai bagi saya, tidak mengejar target dan hanya 'nrimo.' Jika Jakarta memperlihatkan hiruk pikuk dan kemegahan kota metropolitan, Bali menawarkan keindahan alam, maka Jogja menyajikan ketenangan dan kedamaian. Jogja adalah tempat untuk pulang.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline