Lihat ke Halaman Asli

Nur Hikmah

an avid learner

Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran (Sebuah Refleksi)

Diperbarui: 6 Maret 2022   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Minggu ini saya belajar tentang pengambilan keputusan bagi seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. 

  1. Ada dua kasus yang umumnya dihadapi yaitu bujukan moral dan dilema etika. Bujukan moral adalah kasus antara salah melawan benar, sedangkan dilema etika adalah benar melawan benar. 
  2. Empat paradigma dalam dilema etika yaitu: individu lawan masyarakat, rasa keadilan lawan rasa kasihan, kebenaran lawan kesetiaan dan jangka pendek lawan jangka panjang. Contoh kasus: saat seorang anak diminta menjaga adiknya dan tidak diperbolehkan keluar rumah sama sekali oleh ibunya. Namun, ia mendengar ada seseorang diluar rumahnya yang sedang membutuhkan pertolongan. Pada kasus tersebut adalah benar jika ia menuruti perintah si ibu untuk tetap di rumah (rasa keadilan) dan juga benar jika ia keluar rumah untuk menolong seseorang tadi(rasa kasihan). 
  3. Tiga prinsip dalam pengambilan keputusan yaitu: berfikir berbasis akhir, berfikir berbasis peraturan dan berfikir berbasis peduli. Sebagai contoh pada kasus sebelumnya (di atas) si anak memilih untuk keluar rumah menolong orang lain sambil membawa adiknya karena ia merasa kasihan dan berempati "bagaimana kalau ia yang berada di posisi yang meminta tolong." Dalam hal ini ia mengambil keputusan berdasarkan prinsip berfikir berbasis kasihan.
  4.  Sembilan langkah dalam konsep pengambilan dan pengujian keputusan yaitu: mengenali nilai yang bertentangan, menentukan siapa yang terlibat, mengumpulkan fakta, menguji apakah kasus tersebut dilema etika atau bujukan moral, pengujian paradigma, menentukan prinsip yang dipakai, investigasi opsi trilema, buat keputusan dan refleksikan.

Jujur saja saya merasa bingung, saya bertanya - tanya mengapa harus ada tiga prinsip? Mengapa tidak cukup hanya dengan satu prinsip yaitu berfikir berbasis peraturan? Akan lebih mudah dan tepat rasanya jika semua hal dikembalikan saja pada peraturan yang ada. Mengapa perlu ada prinsip berbasis akhir? Bahkan ada prinsip berbasis kasihan? Jika seperti itu lalu untuk apa ada peraturan?

Sampai pada akhirnya saya melihat jajanan anak yang mengingatkan saya akan sebuah film yang sempat hits. Di film tersebut ada sebuah permainan yang disebut dengan lampu merah lampu hijau, dimana jika ada peserta permainan yang bergerak saat lampu merah maka ia akan ditembak oleh sebuah boneka. 

Saya berfikir bahwa jika seorang pemimpin hanya mengambil keputusan berbasis peraturan saja, lalu apa bedanya ia dengan boneka tersebut? Tanpa bertanya mengapa ataupun berfikir panjang ia tak akan segan - segan "menembakan pelurunya" pada anak buah yang berperilaku tidak sesuai aturan. Lalu bagaimana jika peraturannya sendiri yang salah sejak awal? 

Maka tidaklah benar jika pemimpin hanya berlandaskan peraturan dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mampu membedakan kapan harus memakai salah satu prinsip tersebut sesuai dengan kondisi yang ada. Kadang ia memakai peraturan sebagai landasannya mengambil sebuah keputusan. 

Kadang ia perlu mengambil keputusan berlandaskan rasa kasihan ataupun hasil akhir/konsekuensi pada orang banyak. Tidak ada rumus yang menyatakan kapan pemimpin harus memakai prinsip yang mana. Namun jangan khawatir, dengan berlatih seseorang akan terbiasa dan mahir dalam mengambil sebuah keputusan yang bijak. Karena pengambilan keputusan adalah sebuah keterampilan, semakin sering berlatih akan semakin terampil. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline