Tahukah kamu, bahwa setiap orang memiliki kecenderungan untuk terkena sindrom burnout?
Sebelum membahas ke hal yang lebih lanjut, saya ingin bertanya dahulu kepada para pembaca mengenai pengertian dari sindrom burnout. Tahukah kalian apa itu sindrom burnout? Burnout berasal dari bahasa inggris, dimana Burn berarti terbakar, dan out artinya keluar. Jadi sindrom burnout artinya suatu sindrom yang terbakar dari luar atau sindrom yang terbakar keluar. Eitsss... , bukan... bukan... bukan begitu ya artinya teman-teman, hehehe...
Burnout yakni suatu sindrom yang berhubungan dengan gejala fisik dan mental, berupa kelelahan fisik dan kelelahan emosional, dimana rasa lelah tersebut terjadi secara berkepanjangan yang ditandai dengan munculnya ketidakberdayaan dan keputusasaan, dan juga perasaan negatif berkaitan dengan hal yang berurusan dengan pekerjaan, keseharian, dan masih banyak lagi. (Maslach J., 1981)
Secara lebih lanjut, burnout memiliki gejala-gejala yang dapat menyerang fisik, mental, dan emosional, serta pada individu dengan self-esteem yang rendah. Gejala burnout dalam konteks fisik dapat berupa rasa kelelahan secara berkepanjangan yang disertai dengan penyakit fisik berupa munculnya rasa mual ataupun gangguan pada sistem pencernaan, insomnia ataupun gangguan tidur lainnya, adanya penurunan nafsu makan, serta terdapat adanya gejala penyakit lain yang berkaitan dengan penyakit psikosomatis (seperti merasa sakit, namun tidak ditemukan adanya penyakit fisik).
Dalam segi mental, gejala burnout ini dapat berupa rasa kelelahan disertai timbulnya sikap negatif dalam berinteraksi, bersikap sinis dan mudah tersinggung, dan juga muncul sikap agresifitas yang dapat menyinggung orang sekitar. Pada aspek emosional, ciri-ciri burnout dapat berupa rasa ketidakberdayaan, depresi, kurangnya rasa termotivasi saat menyelesaikan suatu permasalahan atau pekerjaan, serta mudah merasa bosan bahkan merasa tertekan.
Adapun rendahnya self-esteem dapat diindikasikan dengan kurangnya rasa percaya diri, timbulnya terdapat rasa pesimisme yang tinggi akan masa depannya, merasa kurang bermanfaat bagi sekitar, terpaku pada sebuah kesalahan yang sama sehingga membuat dirinya menjadi takut akan hal baru karena merasa akan gagal. (George, 2005)
Adanya burnout sindrom dapat berpengaruh pada beberapa faktor seperti halnya gender, usia, status pernikahan. Mengenai faktor gender, para pria dinilai lebih rentan akan efek sindrom burnout disbanding wanita, dimana hal tersebut dikarenakan wanita dinilai lebih mampu menhadapi tekanan emosional yang lebih besar dibanding para pria.
Pada faktor usia, individu dengan umur yang lebih muda, terutama pada individu yang berkisar di bawah umur 40 tahunan, akan lebih mudah terkena efek dari sindrom burnout ini. (Farber, 1991). Adapun burnout dalam faktor status pernikahan disebabkan karena terjadinya kebingungan peran, dimana terdapat adanya peran ganda dalam kehidupan individu, dan hal tersebut dapat dicontohkan dengan bagaimana individu tersebut mempunyai peran yang berbeda dalam lingkup keluarga dan sosial. Selain itu, faktor kepribadian juga memiliki andil dalam terciptanya burnout, dimana kepribadian dalam kasus ini yakni traits kepribadian berupa perfeksionisme,
Menurut KBBI, Perfeksionisme yakni karakter individu yang menuntut kesempurnaan, dan beranggapan bahwa sesuatu yang dinilai kurang dari kata sempurna merupakan hal yang tidak dapat di toleransi. Individu dengan sifat perfeksionis cendurung kurang puas dalam hasil pekerjaannya dan akan mengerjakan suatu persoalan dengan semaksimal mungkin agar nampak sesuai, dimana hal ini nampak sempurna dan selaras dengan apa yang ia inginkan.
Dengan demikian, dapat diartikan pula bahwa seseorang yang perfeksionis memiliki standart tersendiri dalam memenuhi batas ''kesempurnaan'' yang ia buat. Adapun menurut beberapa ahli, Hill (1997) misalnya, yang mengemukakan pendapat bahwa perfeksionisme yaitu suatu karakter kepribadian yang digambarkan sebagai suatu perjuangan guna meraih kata sempurna dengan standarisasi diri yang terlampau tinggi diikuti dengan adanya pemikiran yang terlampau kritis dalam pengevaluasian diri, serta adanya rasa kecemasan terkait penilaian diri dari orang lain. (Hill, 1997 dalam (Stoeber, 2012))
Ada tiga aspek terkait perfeksionisme, yakni: perfeksionisme yang diarahkan sendiri; Perfeksionisme yang diarahkan atau disebabkan karena orientasi pada orang lain dan perfeksionisme yang dipaksakan oleh masyarakat. Dalam pandangan (Hewitt, 1991) seorang perfeksionis akan menetapkan standart yang tinggi, baik itu berlaku untuk dirinya sendiri, ataupun standar tinggi yang juga berlaku bagi orang lain, serta memiliki anggapan bahwa orang lain miliki pengharapan yang itnggi akan dirinya, sehingga menuntut dirinya untuk menjadi sesempurna mungkin.