Lihat ke Halaman Asli

Pantai Amnesia, Membawa Korban Jiwa

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, pengen cepat-cepat menyambut pagi hari yang begitu cerah dan menyenangkan. Aku bersama keluarga akan pergi berlibur ke pantai pasir putih yang terletak cukup lumayan jauh dari tempatku tinggal. Butuh waktu sekitar 2-3 jam untuk sampai disana. Meski mungkin perjalanan itu akan membuat capek, tapi itulah kebahgaiaan yang telah lama tidak aku rasakan semenjak orang tua dan kakak ku selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Ayah bekerja sebagai manager di perusahaan tekstil, ibu mengajar di sebuah sekolah SD swasta yang ada disekitar kompleks rumah,kakak laki-laki ku yang sekarang sedang sibuk dengan usaha coffenya dan kakak perempuanku yang saat ini lagi menggeluti dunia butik.Aku yang lebih terkenal dengan aila anak terakhir yang paling manja, paling merepotkan dan paling menyebalkan, “tutur para saudaraku yang biasannya main kerumah”. Jika dibandingkan dengan para saudara dan kakak-kakak ku aku memang anak yang belum bisa mandiri dan masih begitu manja pada keluarga, aku berpikir itu hal yang maklum dan biasa karena aku memang masih duduk dibangku kelas dua SMA. Masa-masa untuk belajar dan bermain menurutku. Selain itu aku anak terakhir,jd wajar kalau manja.

Akhir pekan minggu ini, keluarga ku berencana untuk berlibur ke pantai bersama-sama. Ini merupakan ide dan keinginan yang sudah lama aku memintannya kepada ayah dan bunda, tapi baru saat ini bisa terwujudkan. Maklum lah, mereka orang-orang yang berdedikasi tinggi pada pekerjaan. Liburan bersama-sama terakhir aku merasakan ketika kelulusan SMP karena saat itu janji dari Bunda ketika aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan aku dan keluarga akan pergi bersama-sama ke daerah wisata yang ada di Lombok. Kenangan yang indah dan tak bisa aku melupaknnya begitu saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.23 WIB tapi mata ini belum bisa terpejam. Aku mulai memekai hadset dan menutar musik kalsik sebagai penghantar tidur malamku waktu itu. Kringgg...... Kringg......... alarm dikamar ku berbunyi dengan lantang seakan-akan ada bahaya sebuh ledakan. Aku meraih jam yang ada dimeja sebelah tempat tidurku. Mataku terbelalak dengan lebarnya, ketika kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 07.20 WIB. Aku langsung bangun dari tempat tidur dan keluar kamar sambil membawa handuk mandi. Di ruang makan ayah, bunda, dan kedua kakakku sudah rapi dan siap untuk sarapan pagi. Dengan wajah kusut sehabis bangun tidur dan wajah bersalah, aku memberi senyun kepada mereka semua.

“ Ailaaa, udah jam berapa ini? Kita udah nunggu lama sayang. Katannya pengen cepat-cepat pergi kepantai, keburu macet nanti” ucap bunda kepadaku. Aila menjawab “ maaf bunda, aila kesiangan tadi malam gak bisa tifur sampek larut malam. Aila mandi bentarnya, ayah, bunda dan kakak sarapan dulu ja (dengan wajah polos penuh rasa bersalah). Aku bergegas lari kekamar mandi untuk secepatnya mandi dan berganti pakaian.

Dentang waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, kami berngkat ke pantai bersama-sama. Perasaanku begiti bahagia ketika dapat berkumpul bersama-sama dengan keluarga seperti ini. Aku dapat bercerita semaunnya kepada keluarga dan menikmtai indahnya pantai pasir putih yang sudah lama aku inginkan. Perjalanan yang penuh tantangan dengan pohon-pohon hijau nan rindang yang ada dikiri-kanan membuat hatiku semakin sejuk nan damai.

Pukul 11.30 WIB, kami sampai dilokasi. Hamparan pantai yang luas dan angin yang berhembus dengan damai menyambut kedatangan kami siang itu. Pantai yang ramai dengan para wisatawan dan penjual berbagai macam oleh-oleh dan makanan pantai yang beragam. Aku langsung menarik tangan kakak dinda dan lari menuju pantai untukbermain air bersama-sama. Ayah, bunda dan kak dion mempersiapka tikar dipinggir pantai dengan membuka bekal yang dibwa dari rumah. Setelah semua siap, aku dan kak dinda lari menuju mereka untuk makan bersama-sama dengan suasana pantai yang begitu indah. Yang tak terlupakan yakni mengabadikan momen yang indah itu dengan kamera yang dibawa oleh kak dion.

Tanpa terasa waktu sudah sore, kami berkemas untuk pulang agar tidak kemalaman sampai dirumah. Liburan yang menyenangkan dan memberi arti tersendiri bagiku. Malam kepulangan kami saat itu memang macet disemua penjuru jalan, maklumlah hari libur. Ketika itu sopir keluargaku, terlihat kurang konsentrasi entah kecapek an atau mungkin mengantuk. Di jalur tanjakan naik disekitar pantai, tiba-tiba mobil kami terhentak keras dan langsung menabarak mobil silver yang ada didepan kami. Tidak dapat terpungkiri kecelakaan beruntun pun terjadi.

Ayah yang duduk didepan disamping sopir terbentur keras kekaca dan keluar darah begitu banyak. Aku sontak menangis sekencang-kencanganya. Semua laju kendaraan berhenti dan tak lama kemudia banyak polisi datang dan mobil ambulance rumah sakit. Semua korban kecelakaan dibawa kerumah sakit termasuk juga aku. Dari hasil kecelakaan tersebut ada tiga korban jiwa yang meninggal dan lainnya ada yang luka berat dan ringan. Ayahku masuk dalam daftra luka berat karena benturan keras yang mengenai kepala beliau. Sopir kami meninggal ketika dibawa kerumah sakit karena terjepit dibagian kemudi. Bunda dan kedua kakakku hanya luka ringan dibagian tangan termasuk juga aku.

Kecelakaan itu membuatku trauma dan merasa bersalah begitu dalam kepada keluarga. Seolah-olah aku yang menyebabkan kecelakaan tersebut karena aku yang menginginkan jalan-jalan itu. Aku mengalami ketakutan dan kecemasan yang begitu dalam. Aku selalu merasa khawatir disetiap kesempatan takut akan datangnya bahaya itu lagi. Sementra ayahku masih kritis diruang UGD. Meurut dokter, ayahku kemungkinan mengalami Amnesia, yakni gangguan ingatan yang terjadi karena benturan keras yang mengenai saraf otaknya dan juga trauma yang begitu cepat yang beliau alami sewaktu kecelakaan tersebut. Bunda sontak menangis dengan keras dan tak bisa mengendalikan dirinnya. Kakakku lansung memeluk ibu dan juga aku. Kami cuma bisa sabar dan terus berdo’a demi kesembuhan beliau.

Mulai saat itu, aku belajar tidak manja lagi dan aku tidak menuntut untuk pergi wisata kemana-kemana. Cukup dengan berkumpul dirumah bersama-sama itu sudah menjadi kebahagiaan yang tak terasa yang kami alami. Jadikan masa lalu itu kenangan indah dalam kehidupan dan pelajaran untuk menjadi pribadi yang baik kedepannya. Karena masalah itu letaknya di fikran, beban letaknya di pundak, letakkan dan bersujudlah untuk menyerahkan semuannya kepada-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline