Pesantren untuk Ayah
Karya: Nurhidayah Irma
“Bagaimana,Nak, apakah kamu bersedia mengikuti keinginan ayah?”
“Apakah harus aku, Yah?”
“Hanya kamulah yang bisa meneruskan cita-cita ayah.”
Ucapan itulah yang terus menghinggapi pikiranku yang sampai kini aku tak bisa lagi mendengar petuah ayah. Lima tahun sudah ayah meninggalkan kami. Waktu itu umurku masih 7 tahun. Tapi sampai sekarang aku belum bisa memenuhi keinginan ayah.
“Maafkan aku ayah.” Bisikku dalam hati.
***
“Kamu tahu tidak, kalau wajahmu itu tampan seperti pendakwah di TV itu!” seloroh temanku sambil berlari ka kantin.
“Apa wajahku seperti Ustadz Yusuf Mansyur?” kuperhatikan wajahku pelan sambil memakai peci yang ada di dalam tas. Memang kebiasaan yang tak pernah aku tinggalkan adalah memakai peci ketika solat, peci dan sarung tak pernah tertinggal dalam tasku.
Kupandangi wajahku yang tampan seperti orang-orang katakan. Lalu aku berpikir apakah pantas aku disamakan dengan Ustadz Yusuf Mansyur? Pendakwah terkenal di Indonesia. Yang memilik banyak sekali jamaah, dan yang sangat bermanfaat untuk umat. Yang teguh dalam tauhid dan fiqih. Ah semuanya hanya candaan temanku.