Lihat ke Halaman Asli

Nurhidayah

Manusia Biasa

Hanya Belajar, pun Aku Tak Mampu

Diperbarui: 25 Desember 2022   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanganku masih begitu kecil tatkala ibu menceritakan harapannya. Seusai cerita itu ditinggal pergi oleh ibu, tawa kecilku lepas begitu saja. Jika ku sebut beban, rasanya terlalu kasar aku memperlakukan mimpi seindah itu. Meski tak tahu jalan seperti apa menuju mimpi ibu, tapi aku punya Tuhan sebagai penunjuk arah, yakinku. 'Tak perlu khawatir', mantraku menyelesaikan perbincangan dalam kepala.

"Aku merasa bersalah jika hidup seperti ini, Ndin." Keluh Nida sambil menatap nasi di piringnya. Sudah seminggu ia berada di kota Makassar, hilal memulai perkuliahan pun belum ada bocoran informasinya. Dilema menggerubuti pikirannya akhir-akhir ini, berada di perantauan dan tidak melakukan apa-apa membuatnya kian menyesal telah meninggalkan rumah lebih cepat.

"Merasa bersalah atas apa, Nida? Hidupmu yang baik itu apanya lagi yang mebuatmu berpikir semacam itu," balas Andin acuh. Lanjut menikmati ayam goreng dan lauk lainnya, Andin melahap dengan nikmat sesekali melihat konten instagram di handphonenya.

"Apakah kau tidak gusar, hidup tanpa melakukan apa-apa dan hanya menghabiskan uang orang tua?" cerca Nida bangkit dari duduknya, menggeser piring dihadapannya. Mendapat pertanyaan seperti itu, Andin terdiam, terpaku menatap Nida yang mulai beranjak dari tempat makan.

Nida sadar, seberapa kesal pun ia ketika menghadapi ocehan ibu, tingkah menyebalkan sang adik, pekerjaan rumah yang seolah menghambat, ia tetap merasa tenang ketika berada di rumah. Walaupun suasana rumah tak selalu menyenangkan, ia lebih lega ketika menatap satu persatu anggota keluarganya secara langsung. Ah, selalunya seperti ini, Nida yang mudah jenuh dan segala keputusannya yang begitu kekanak-kanakan.

Tahun ini, Nida memasuki semester lima dengan jurusan bahasa asing sebagai pilihannya. Sudah cukup lama ia belajar, mulai mengenal pilihannya sedikit demi sedikit tapi ia selalu merasa tidak mampu atas apapun yang ia pelajari. Setiap hari waktu semakin memburunya untuk tahu, ia akan berhadapan dengan masyarakat nantinya maka akan sangat memalukan jika ia terlihat bodoh. Dan juga, mungkin ibu akan kecewa. Entah sudah berapa banyak uang yang dikorbankan untuk dirinya yang tidak tahu diri ini.

"Nida...," panggil Andin dari balik pintu kamar. Tak lama setelah kepergiannya, Andin menyusul ke kamar.

"Masuk saja, tidak dikunci," ujar Nida, kembali menelentangkan badan dan menyorot dengan serius pamflet lomba di handphonenya.

"Nida, ada apa sih, kenapa tiba-tiba marah?" tanya Andin dengan sepiring makanan ditangannya yang kemudian ia letakkan di meja belajar, makanan yang Nida tinggalkan tadi.

"Tidak, aku hanya merasa labil akhir-akhir ini. Maaf merusak acara makan mu tadi." Selorohnya tetap membelakangi Andin.

"Tidaklah, maaf juga respon ku mungkin terdengar menjengkelkan tadi, kalau mau cerita aku bakal dengerin," tawar Andin sembari mengusap bahu Nida, bangkit dari tidur dengan kepala tertunduk, Nida bercerita dengan air mata tertahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline