"Bu, pintu pesawat akan ditutup 10 menit sebelum keberangkatan," suara petugas terdengar seperti gemuruh petir yang mengguncang sore itu.
"Iya, siap." sahutku cepat, sambil melambaikan tangan ke arah teman-temanku. "Lari", begitu teriakku. Teman-temanku segera berlari menuju gate 21 yang tertera di boarding pass.
"Tandatangan di sini, Bu," ujar petugasnya. Tak sempat berpikir, apalagi membaca, aku langsung membubuhkan tanda tanganku. Waktu terasa seperti musuh yang kejam. Bergegas aku menyusul ketiga temanku yang sudah berlari lebih dulu.
Tanpa peduli sekitar, dengan napas terengah-engah, kami terus berlari. Setibanya di gate 21, petugas berteriak, "Palembang, Palembang"
Aku segera menyerahkan boarding pass dan KTP. "Berapa orang, Bu?" tanyanya cepat. "Empat orang," jawabku singkat sambil memastikan teman-temanku yang masih di belakang.
Akhirnya, kami sampai di kursi masing-masing, dengan napas tersengal-sengal dan baju basah oleh keringat. Meski lega, degup jantung masih berlomba dengan waktu yang baru saja kami kejar. Lima belas menit kemudian, pesawat pun mengudara.
Ya Allah, hanya lima menit yang memisahkan kami dari pintu pesawat yang hampir tertutup. Lima menit yang sangat berharga, lima menit yang menentukan segalanya, lima menit yang akan selalu terpatri dalam ingatan.
Ini sekilas kisahnya, tunggu kisah lengkapnya dengan versi yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H