Dunia peternakan di Indonesia beberapa tahun terakhir mendapat banyak pengalaman baru dalam hubungannya dengan pasar dunia yang terbuka. Pada awal tahun 2001, terjadi perselisihan antara pemerintah dengan importir atas larangan impor daging sapi asal Irlandia yang sudah berada dalam kapal di Pelabuhan Tanjung Priok. Tidak lama kemudian, dilanjutkan dengan perselisihan antara pemerintah dengan para importir paha ayam dari Amerika Serikat, perselisihan dengan pengusaha pabrik pakan atas larangan impor 60 ribu ton jagung dari Argentina yang juga sudah berada di Tanjung Priok, serta perselisihan antara pemerintah daerah dengan para pengusaha dan pedagang hasil ternak atas penarikan beberapa retribusi. Pada akhir tahun 2001 terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dengan para pengusaha feedlot berkenaan dengan PPN 10 persen terhadap impor 60.000 sapi bakalan yang ditahan bea cukai di Pelabuhan Tanjung Priok. Tahun 2001 adalah masa transisi yang berat bagi kedua belah pihak, baik pada pemerintah maupun swasta dalam rangka memasuki pasar bebas. Pemerintah Indonesia masih belum dapat mengeluarkan ramburambu larangan impor yang bersifat non tarif, atau setidaknya aturan-aturan tersebut belum dimasyarakatkan secara luas. Larangan impor tersebut dirasakan datang terlalu mendadak ketika barang-barang yang diimpor sudah memasuki pelabuhan, sehingga larangan ini dianggap merugikan para pengusaha. Para pengusaha mempunyai kesan bahwa jika pasar global itu benar-benar terbuka, pemerintah lebih banyak menyimpan rasa takut dibandingkan keberanian untuk menghadapinya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan potret dan permasalahan peternakan sebelum dan sesudah krisis ekonomi, khususnya kondisi peternakan dua tahun terakhir (2001-2002) dan mencoba mengambil kesimpulan dari permasalahan tersebut serta merumuskan kebijakan yang mungkin dapat dilaksanakan di masa datang. Review ini lebih difokuskan pada usaha pengembangan agribisnis peternakan domestik, sebelum benar-benar menghadapi pasar dunia terbuka tersebut.
SITUASI PRODUKSI DAN PENGADAAN HASIL PETERNAKAN
Secara umum permintaan akan produk peternakan bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan, yang berarti perubahan pendapatan dalam masyarakat akan membawa perubahan pada permintaan yang lebih besar. Perekonomian nasional yang semakin membaik membawa dampak terhadap peningkatan permintaan hasil ternak. Namun, apakah peningkatan permintaan hasil ternak tersebut akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi ternak, akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam suatu sistem agribisnis peternakan, subsistem agroindustri dan pemasaran cenderung berpengaruh nyata dalam memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen, sementara subsistem sarana produksi dan produksi peternakan harus mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan. Untuk menggambarkan perkembangan situasi agribisnis usaha peternakan, pembahasan akan difokuskan pada perbandingan antara periode "krisis moneter" (1997-1998) dengan periode "pasca krisis moneter" (1999-2002). Kebutuhan konsumsi daging, susu, dan telur secara nasional, dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi baru mulai terlihat semenjak tahun 2000 di mana konsumsi hasil ternak meningkat. Seperti diperlihatkan data dari Buku Statistik Peternakan (2001) untuk konsumsi daging, pada tahun 1996 konsumsi daging sebesar 1661,2 ribu ton, menurun menjadi 1.242,6 ribu ton pada tahun 1998, mengalami kenaikan menjadi 1.517,5 ribu ton pada tahun 2000. Guna memenuhi konsumsi daging tersebut, volume impor daging antara periode krisis moneter (1997- 1998) dan pasca krisis (1999-2000) ternyata meningkat sebesar 90,1 persen. Volume impor sapi bakalan dan daging sapi meningkat sebesar 18,1 dan 16,8 persen. Peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi lebih banyak didorong oleh insentif keuntungan yang lebih menarik dibandingkan keuntungan yang diperoleh pedagang dari pengadaan sapi bakalan dalam negeri yang memang sulit didapatkan. Peningkatan impor ternak dan hasil ternak tentu akan menguras devisa negara, namun keadaan ini terpaksa harus diterima karena perkembangan populasi ternak domestik yang rendah sehingga kemungkinan terjadi pengurasan. Apabila diasumsikan karkas (daging tulang) satu ekor sapi sebesar 145 kg, maka pada periode krisis telah dipotong sekitar 2.403.448 ekor ternak per tahun. Berdasarkan estimasi tersebut, jumlah sapi yang dipotong sebanyak 20,1 persen dari populasi. Suatu angka yang cukup besar untuk mendorong pengurasan ternak sapi. Impor daging unggas pasca krisis meningkat sangat tajam sebesar 1208 persen Dihubungkan dengan produksi daging unggas dalam negeri, impor daging unggas sebesar 9043,0 ribu ton untuk tahun 1999-2000 hanya menurunkan produksi dalam negeri sebesar 5 persen. Jika angka ini dikaitkan dengan pertumbuhan produksi broiler yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, konsumen banyak yang memilih daging unggas karena relatif lebih murah dibanding daging sapi. Peningkatan ekspor daging unggas sebesar 18,4 persen, menunjukkan bahwa masih ada peluang nilai tambah dari usaha peternakan unggas. Ekspor daging unggas, walaupun impor cukup tinggi, menunjukkan bahwa masih ada peluang nilai tambah produk (kemungkinan besar produk olahan). Setelah lewat masa krisis, volume impor daging babi meningkat sebesar 169,6 persen. Walaupun demikian, bila dihubungkan dengan jumlah fisik daging yang diimpor dengan yang di ekspor, daging yang di ekspor pada periode yang sama 112 - 249 persen lebih tinggi dibanding impor. Volume ekspor daging babi pada periode krisis ekonomi, meningkat sangat tajam. Peningkatan produksi daging babi dalam negeri hanya sebesar 6,25 persen. Volume ekspor (daging babi dan babi bibit) yang tinggi, menunjukkan bahwa usaha ternak babi prospektif untuk dikembangkan. Oleh karena ekspor suatu komoditas terkait dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan, maka usaha ternak babi yang dapat berkembang hanyalah pada tipologi usaha industri peternakan. Dampak peningkatan ekspor babi kurang nyata terhadap peningkatan usaha peternakan rakyat. Apabila karkas satu ekor babi yang dipotong sebesar 75 kg, maka pada tahun yang sama telah dipotong babi sekitar 1,9 juta ekor (23-24% dari populasi). Volume pemotongan yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap perkembangan populasi ternak. Populasi babi yang pada periode krisis moneter sekitar delapan juta ekor, telah turun menjadi sekitar lima juta ekor. Kebutuhan daging kambing tidak dipengaruhi oleh situasi perekonomian nasional dan internasional. Kebutuhan impor daging kambing sekitar 510 - 540 ton per tahun telah memberikan kontribusi satu persen terhadap konsumsi daging kambing nasional. Apabila satu ekor kambing dewasa menghasilkan karkas sebanyak 14 kg, maka dalam satu tahun perlu sekitar 3,6 juta ekor atau sekitar 30 persen dari total populasi kambing. Pemulihan ekonomi akibat krisis moneter berdampak positif terhadap peningkatan kebutuhan susu. Penurunan konsumsi susu sekitar 20 persen yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah meningkat menjadi 1184,75 ribu ton pada tahun 1999-2000 dan terus meningkat setelah perekonomian mulai membaik. Namun demikian peningkatan konsumsi susu tersebut sebagian besar dipenuhi dari impor. Peningkatan impor susu sebesar 117,4 persen, berpengaruh terhadap produksi susu nasional. Proporsi impor susu terhadap konsumsi relatif masih tinggi, yaitu sebesar 66 persen. Dari populasi sapi perah sekitar 350 ribu ekor, apabila diasumsikan populasi sapi betina dewasa sekitar 58 persen atau sekitar 200.000 ekor, untuk memenuhi produksi susu tersebut, produktivitas sapi relatif masih sangat rendah. Kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi susu segar sangat kecil dibanding dengan konsumsi susu bubuk/kaleng. Diantara kebutuhan protein hewani, konsumsi telur relatif paling menyebar di seluruh wilayah. Kebutuhan telur tidak hanya untuk konsumsi segar namun sebagian besar untuk bahan campuran industri produk pangan olahan. Pada tahun-tahun krisis moneter produksi telur dalam negeri menurun sekitar sembilan persen dibanding setelah pemulihan krisis moneter (1999-2000) yakni sekitar 636,45 ribu ton/tahun. Untuk memenuhi kon sumsi telur dalam negeri tersebut, hampir dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Impor telur selama tahun 1997-1998 sekitar 121,6 ribu butir/th, meningkat menjadi 34.935,1 ribu butir/th pada tahun 1999-2000. Apabila diasumsikan rata-rata satu kilogram telur terdiri 16 butir telur, maka volume ekspor pada tahun 1997-1998 sebanyak 7.600 kg (0,013% dari produksi telur nasional) dan pada tahun 1999-2000 sebanyak 2.183.443,75 kg (0,34% dari produksi telur nasional). Produksi telur yang rendah pada masa krisis moneter berkaitan dengan harga pakan ternak yang tinggi. Bahan pakan ayam petelur sebagian berasal dari impor, sehingga nilai rupiah terhadap dollar yang sangat rendah pada periode krisis moneter, mengakibatkan banyak usaha peternakan ayam petelur yang gulung tikar.
SITUASI KERAGAAN DAN SEBARAN POPULASI TERNAK
Tidak seperti pada usaha ternak sapi potong yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang cukup beragam, usaha ternak sapi perah memerlukan kondisi lingkungan yang lebih terbatas (relatif sejuk pada dataran sedang-tinggi). Selain itu, pola usaha ternak sapi perah relatif lebih intensif dibanding usaha ternak sapi potong. Oleh karena itu penyebaran populasi sapi perah relatif lebih terbatas dibanding dengan sapi potong. Berdasarkan analisis keterkaitan antara populasi dengan kemampuan produksi susu di enam provinsi yang terpadat populasi sapi perah (Gambar 1), nampak bahwa produksi susu tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur, dan berturutturut menurun di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), dan terendah di Provinsi Sumatera Utara. Namun demikian berdasarkan populasi sapi perah, dari populasi yang tertinggi berturut-turut di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, DIY, dan terendah di DKI. Kalau diasumsikan bahwa populasi sapi betina dewasa sebanyak 55,4 persen (Statistik Peternakan, 2001) dan lama laktasi selama 305 hari, maka produktivitas per ekor
sapi dari yang terbesar adalah di Provinsi Jawa Barat (12,8 kg/ekor/h), DIY (10,01 kg/ekor/h), Jawa Timur (9,1 kg/ekor/h), DKI (7,8 kg/ekor/h), Sumatera Utara (4,2 kg/ ekor/h), dan terendah di Jawa tengah (4,1 kg/ekor/h). Dari jumlah total produksi susu nasional tahun 2000, ternyata dipasok dari enam wilayah sentra produksi sebesar 99,5 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumen susu segar adalah penduduk di daerah perkotaan. Pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa konsumsi susu di Indonesia adalah 0,57 g/kap/h (Statistik Peternakan, 2001). Berdasarkan sebaran data populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000 (Statistik Peternakan, 2001), nampak bahwa wilayah sentra sapi potong dari yang terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Telatan, Aceh, Bali. Dihubungkan dengan kepadatan wilayah maka wilayah dari yang terpadat adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Suatu fenomena menarik untuk dikaji, bahwa populasi ternak berhubungan pula dengan populasi penduduk. Keadaan ini menunjukkan bahwa skala usaha sapi potong relatif kecil. Populasi sapi potong di lima provinsi padat ternak menyumbang 59,4 persen. Sebagian besar pola usaha ternak sapi potong adalah pola pembibitan/pembesaran anak. Hanya sebagian kecil peternak yang khusus mengelola usahanya sebagai usaha penggemukan. Pada pola usaha pembibitan tersebut secara ekonomis kurang menguntungkan. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pola usaha demikian masih tetap berkembang. Berdasarkan informasi bahwa tatalaksana usaha ternak pola pembibitan akan kurang efisien pada usaha intensif.
Upaya keberlanjutan usaha ternak sapi potong ternyata dapat dikaitkan dengan wilayah persawahan (padi) intensif. Jerami padi yang cukup berlimpah (yang selama ini dibakar) sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Bahkan dengan introduksi teknologi pengkayaan nutrisi jerami padi yang ramah lingkungan (melalui teknologi fermentasi dengan menambahkan mikroba pemecah sellulosa atau amoniasi) dapat meningkatkan nilai gizi pakan. Berdasarkan estimasi bahwa dari luasan lahan sawah yang ditanami padi per musim tanam, produksi jerami padi (relatif sama dengan produksi padi) yang dihasilkan dapat mencukupi satu ekor sapi selama setahun. Usaha ternak sapi potong dapat dikaitkan sebagai penghasil pupuk organik (kompos) yang sangat diperlukan untuk usahatani ramah lingkungan. Konsep Crop Livestock System (CLS) yang diimplementasikan oleh Pusat Penelitian Peternakan dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dapat dikembangkan untuk meningkatkan populasi ternak sapi. Sebagai penghasil daging, populasi kerbau di Indonesia relatif rendah. Populasi kerbau sekitar 21,85 persen dibanding populasi sapi potong. Dari lima wilayah sentra kerbau, dari yang tertinggi populasinya berturut-turut adalah di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Berdasarkan sebaran populasi kerbau, nampak bahwa populasi kerbau relatif banyak di wilayah Barat Indonesia. Hanya di wilayah Sulawesi Selatan populasi kerbau relatif cukup banyak. Sifat fisiologik kerbau yang relatif sedikit kelenjar keringatnya dibanding sapi dan kulitnya relatif tebal, kurang cocok dikembangkan di daerah panas dan lembab. Untuk wilayah yang panas, kerbau akan sering berkubang. Konsep CLS juga cocok dikembangkan untuk usaha ternak kerbau, karena kemampuan yang lebih baik untuk mencerna serat kasar. Permasalahan yang sering dihadapi peternak kerbau adalah panjangnya selang beranak. Keadaan ini berhubungan dengan tingginya kejadian berahi tenang (silent heat) dan kurangnya ketersediaan pejantan. Peningkatan produktivitas kerbau melalui perbaikan mutu genetik dapat dilaksanakan melalui intensifikasi program inseminasi buatan (IB). Selain sebagai penghasil daging, ternyata dari spesies kerbau terdapat bangsa kerbau penghasil susu (kerbau Murrah). Potensi kerbau sebagai penghasil susu telah dikembangkan peternak di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Susu kerbau olahan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara dikenal dengan Dadih. Sedang di Sumatera Utara, susu kerbau banyak dikonsumsi oleh penduduk etnis India. Program persilangan antara kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan kerbau Murrah (river buffalo) dapat pula dijadikan alternatif untuk menjadikan kerbau dwiguna. Tingginya populasi kerbau di Sulawesi Selatan banyak berkaitan dengan budaya masyarakat yang memotong kerbau untuk acara adat. Di Sulawesi Selatan didapati salah satu galur kerbau yang harganya sangat tinggi yang dikenal dengan kerbau belang (tedong bonga). Konsentrasi populasi ternak babi di Indonesia terutama di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah non muslim. Urutan wilayah dengan populasi babi tertinggi berturut-turut adalah di Provinsi Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Irian Jaya (Papua), dan Sulawesi Selatan. Populasi babi di lima wilayah sentra produksi (3.478.123 ekor) berkontribusi sebesar 64,93 persen terhadap populasi nasional. Pada umumnya bangsa babi yang dipelihara peternak adalah babi lokal yang bobot badannya relatif kecil dengan pola usaha yang bersifat tradisional. Pada pola yang demikian sebenarnya rawan terhadap serangan penyakit. Seperti diketahui bahwa beberapa tahun lalu telah terjadi wabah penyakit kolera (hog cholera) yang secara nyata membunuh babi dalam jumlah yang sangat besar. Kebijakan negara Singapura yang melarang usaha ternak babi (yang juga masyarakatnya sebagai konsumen daging babi), sebenarnya merupakan peluang untuk pengembangan usaha ternak babi. Namun demikian karena persyaratan mutu daging yang dikehendaki relatif tinggi, hanyalah industri peternakan yang menggunakan bangsa babi impor yang dapat memasok kebutuhan pasar tersebut, misalnya industri peternakan di Pulau Bulan dan sekitarnya di Provinsi Riau Kepulauan. Konsep integrasi usahatani hortikultura (sayuran) dengan usaha ternak babi di Sumatera Utara merupakan konsep yang cukup baik untuk pengembangan usaha. Populasi kambing hampir menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan sebaran padat kambing di lima wilayah terpadat, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah terpadat populasi kambing dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Kontribusi populasi di lima wilayah padat kambing sebesar 65,9 persen dari populasi kambing nasional. Dari lima wilayah padat kambing tersebut sebagian besar populasi kambing terdapat di pulau Jawa. Bangsa kambing yang dipelihara peternak adalah kambing Kacang dan Peranakan Etawah (PE). Kenyataan lapang menunjukkan bahwa pola usaha ternak adalah pola pembibitan/pembesaran anak dan dipelihara sebagai usaha sambilan. Karena sifatnya yang sambilan tersebut, sumbangan pendapatan usaha ternak relatif masih rendah (10 -- 17 persen) terhadap total pendapatan usahatani. Di salah satu wilayah sentra produksi kambing PE bibit di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah; usaha ternak kambing relatif memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar. Hasil pengamatan Subandriyo et al. (1995) menunjukkan bahwa morphologik kambing PE bibit tersebut relatif sama dengan morfologik kambing Etawah (Jamnapari) yang di impor dari India pada jaman pendudukan Belanda yakni sekitar tahun 1927--1932 (Merkens dan Syarif, 1932 dalam Utojo, 1973). Pola perbaikan mutu genetik dengan sistem pembibitan inti bersifat terbuka (open nucleus breeding scheme) dan cukup rasional untuk dikembangkan. Salah satu potensi kambing PE adalah kemampuannya untuk menghasilkan susu, yaitu berkisar antara 0,8 -- 1,5 liter/hari dengan masa laktasi sekitar lima bulan. Potensi ini ternyata belum berkembang pada petani karena faktor ketidakbiasaannya untuk mengkonsumsi susu kambing. Terdapat kecenderungan bahwa di kota-kota besar susu kambing dibutuhkan untuk kecantikan (mandi susu, sabun susu) dan sebagai obat (ashma dan obat batuk). Namun, nilai jual susu kambing relatif masih tinggi, yaitu sekitar Rp. 10.000 per liter. Upaya pemanfaatan susu kambing dapat pula dikaitkan dengan upaya diversifikasi pangan dan peningkatan gizi masyarakat. Populasi domba sekitar setengah dari total populasi kambing. Berdasarkan sebaran padat populasi domba di lima wilayah, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi terpadat sebesar 45,7 persen dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Tengah 26,7 persen, Jawa Timur sebesar 18,1 persen, Sumatera Utara sebesar 2,5 persen dan Aceh sebesar 1,6 persen. Dari gambaran tersebut nampak bahwa populasi domba terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sama halnya dengan populasi sapi potong, konsentrasi domba berkorelasi positif dengan populasi penduduk. Bangsa domba yang dipelihara penduduk adalah domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Produksi daging unggas nasional tahun 2000 dipasok dari daging ayam broiler sebesar 62,9 persen atau sekitar 35,6 persen dari produksi daging. Dari populasi ayam broiler di Indonesia sebesar 530.874.057 ekor, konsentrasi populasi berturut-turut di Provinsi Jawa Barat 37 persen, Jawa Timur 16,59 persen, Jawa Tengah 13,5 persen dan Sumatera Utara sebesar 5,1 persen. Usaha ternak ayam ras pedaging merupakan usaha ternak yang sangat intensif. Populasi ayam ras pedaging yang tinggi di Pulau Jawa berhubungan dengan ketersediaan pasar (padat penduduk), ketersediaan modal, lahan, dan keterampilan. Pola kemitraan dengan industri pembibitan ayam broiler dan perusahaan pakan ternak sangat menentukan keberhasilan usaha. Namun demikian usaha ternak ayam ras sangat rentan terhadap gejolak harga bibit dan pakan ternak. Ketergantungan terhadap faktor eksternal ini cukup membatasi perkembangan usaha ternak ayam ras. Berdasarkan pengelompokan populasi dan produksi telur konsumsi di lima provinsi terbesar, nampak bahwa populasi ayam petelur dari yang tertinggi adalah di Provinsi Sumatera Utara, dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan terendah di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun demikian berdasarkan kemampuan produksi telur, dari yang tertinggi berturut-turut adalah di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Produksi telur di lima provinsi terbesar tersebut, ternyata menyumbang 77,26 persen dari produksi telur nasional.
PERMASALAHAN PETERNAKAN
Perdagangan Internasional
Indonesia yang tercatat sebagai negara konsumen hasil ternak dunia yang terus tumbuh menghadapi beberapa permasalahan, yaitu : impor produk peternakan itu mempengaruhi produksi dalam negeri, Indonesia memasukan produk peternakan yang tidak halal, isu tarif dan non tarif, dan isu penyebaran penyakit. Impor produk peternakan yang menjadi masalah tahun 2001 adalah impor paha ayam dari Amerika Serikat, daging sapi dari Irlandia, Jagung dari Argentina dan impor kulit dari negara Eropah. Menurut aturan perdagangan bebas, maka importir dapat memasukan produk tersebut, namun hal itu tidak dapat dilakukan karena penerbitan Surat Izin Rekomendasi. Produk peternakan yang tidak mendapat Surat Rekoemndasi Impor (SRI) tidak akan boleh masuk ke Indonesia. SRI tersebut sudah dicabut sehubungan dengan UU No. 7 tahun 1994 tentang perdagangan bebas namun SRI ternyata telah digunakan untuk menahan impor paha ayam, daging, susu, kulit ternak dan jagung. SRI yang terbit tahun 2001 untuk menghambat impor mengandung tiga alasan yakni pertimbangan pencegahan dan menghambat penyebaran penyakit PMK, aspek kehalalan, dan menyangkut masalah perlindungan usaha rakyat. Rekomendasi pembatasan impor paha bawah ayam tentu saja dipertimbangkan dari ketidakadilan dalam perdagangan bebas. Karena daging paha bawah ayam merupakan produk buangan di Amreika Serikat, yang tentu saja harganya sudah diperhitungkan dalam produk dada ayam yang dipasarkan di sana, maka harga paha ayam tersebut sangat murah. Maka tidak adil jika produk ini masuk ke dalam negeri dan menghancurkan perusahaan peternakan domestik yang menjual ayam secara utuh. Selain itu, juga diragukan status kehalalan produk paha ayam tersebut. Sehingga dapat disimpulkan kebijaksanaan pembatasan impor paha ayam secara umum tidak akan memberikan dampak negatif baik pada konsumen maupun pada produsen/ peternak. Dampak yang mungkin terjadi adalah pada perjanjian bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, misalnya jika Amerika Serikat melakukan pembalasan dengan membatasi impor tekstil dari Indonesia dan sebagainya. Selain kemungkinan penolakan SRI oleh pihak Amerika Serikat maka di dalam negeri juga bermasalah karena penerbitan SRI oleh Dirjen Peternakan dianggap oleh para pengusaha sebagai tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum. Ini merupakan salah satu kebijakan sebagai akibat dugaan pengaruh buruk terhadap pasar global pada produksi dalam negeri. Untuk menghindarkan hal ini maka SRI harus mempunyai kekuatan hukum dan diakui dalam perdagangan bebas dunia, sehingga tidak dianggap sebagai keputusan yang sepihak. Berikut disampaikan pemikiran tetang kehalalan dan penyakit PMK.
Masalah Kehalalan