Lihat ke Halaman Asli

212, Cuti Nalar dan Perlawanan Pak Tua

Diperbarui: 7 Desember 2016   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu di Desa kami yang cukup besar, seperti hari-hari biasanya hujan turun dengan derasnya. Lama-kelamaan mereda menjadi gerimis. Kabut tipis menyelimuti bumi, ditambah angin sepoi-sepoi yang menusuk tulang

Ada suatu keramaian di dekat kantor balai desa, para warga menuntut Pak RW Akhuka ditangkap dan dicopot dari jabatannya. Walaupun gerimis, para warga tetap berduyun-duyun memenuhi halaman Balai Desa. Ada Mas Rizieq yang turunan Ngarab, ada Pak Aripin dan Pak Gymi yang beristri dua, dan banyak yang lainnya. Tentu saja Pak RW Akhuka tidak akan berani nongol batang hidungnya di tengah-tengah warga.

Lalu sejurus kemudian Pak Kades Joko Linglung datang, ditangannya membawa payung biru  unyu-unyu untuk melindungi badannya yang kurus kerontang terbebas dari terpaan air hujan, beliau didampingi oleh ajudan-ajudannya lalu para warga yang melihat kemunculan pak Kades meneriakkan takbir dengan gegap gempita, “Allahu Akbar”, wajah mereka riang gembira.

Aku yang mengamati para warga dari kejauhan terheran-heran, Kok para warga meneriakkan takbir, wajah-wajah mereka memancarkan aura bahagia.

Aku sungguh tidak tega kalau bilang mereka (para warga) sedang Cuti Nalar, karena mereka tidak tahu dan tidak paham bahwa sesungguhnya Pak Kadeslah justru aktor utama penggadai kedaulatan desa kami kepada penduduk desa yg lain, Pak Kadeslah orang yang mengobral tanah di desa, dan dialah yang menyewakan dengan murah kekayaan tambang-tambang di segala penjuru desa.

Aku pikir Tuhan yang Maha Kuasa sedang menutupi pikiran mereka barang sebentar saja, suatu saat nanti penutup itu akan dibuka oleh-Nya.

***

Di sudut desa kami ada seorang sepuh yang hidupnya setiap hari ialah berpuasa dan bertapa. Orang-orang desa memanggilnya Cak Sot. Walaupun beliau lebih senang dipanggil “Cak”, tetapi saya tetap memanggilnya Si Mbah. Karena jelas perbedaan usia kami terlampau jauh.

Beliau adalah orang yang menurutku paling mencintai Desa dan  para warga, si Mbah terkenal sakti, saya pernah dengar cerita dari kakek saya  pada tahun 1998 si Mbah yang waktu itu masih lumayan muda pernah menurunkan Kades yang waktu itu terkenal dengan  sebutan Macan karena keganasannya. Tidak hanya itu, Si Mbah muda malah mengajari Kades itu kata-kata “Ora dadi Kades, ora patheken”.

Dengar-dengar kabar,  Si Mbah yang sudah lama tinggal di sudut Desa kami yang sunyi itu sudah mulai angkat bicara.  Ia berbicara pada dirinya sendiri, “akan melawan”. Beliau memohon kepada Tuhan agar bermurah hati dan bertoleransi memberikan waktu yang sepanjang-panjangnya sesuai dengan kebutuhan perjuangan dan perlawanannya.

Tentu sebagai seorang pemuda saya merasa bahagia, seperti menemu cahaya di tengah keremangan dan kegelapan. Seperti pemuda Ashabul kahfi yang dibangkitkan dari tidur setelah 309 tahun lamanya.

Sebab jika si Mbah sudah mulai melawan yang dimenangkan bukan salah satu kubu, tetapi seluruh penduduk desa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline