Seorang perempuan berseragam dan kepala tertutup jilbab berdiri di depan salah pintu kapal MT Merbau, mengucapkan selamat datang dengan senyum lebar, dan menyalami saya dan rombongan yang baru sampai di atas kapal tanker Pertamina tersebut. Saya yang masih shock karena baru saja “menggadaikan nyawa” dengan menaiki tangga monyet—tangga kecil dari kayu dengan pegangan tali—dari kapal nelayan ke kapal tanker yang sedang berlabuh tersebut cuma bisa menduga selintas perempuan itu pastilah bukan nakhoda kapal tanker itu. Ya, siang itu (10/2), saya bersama beberapa wartawan media arus utama jauh-jauh diangkut dari Jakarta ke Pelabuhan OTM (Orbit Terminal Merak) di Banten memang untuk keperluan meliput sosok Agustin Nurul Fitriyah, perempuan nakhoda kapal tanker tersebut.
Nakhoda alias kapten kapal pastilah bukan orang pertama yang akan menyambut tamu yang datang. Tentu ia ada di “singgasananya” dan baru menemui tamu setelah semua tamu dan awak kapal berkumpul. Begitu pikir saya sambil berlalu masuk ke kapal setelah bersalaman dengan perempuan itu. Masih dengan jantung berdebar-debar gara-gara tangga monyet itu tentu saja.
Setelah rombongan dan sebagian awak kapal berkumpul di ruang makan perwira dan maksud kedatangan kami disampaikan, barulah saya terperangah. Ternyata perempuan yang menyambut kedatangan kami di pintu kapal itu memang nakhodanya. Bisa tidak bisa, poin pertama yang saya catat dari sosok sang nakhoda adalah rendah hati dan tidak sombong.
[caption caption="Kapten Agustin Nurul Fitriyah, perempuannakhoda kapal tanker pertama di Indonesia | Dokumentasi Pribadi"][/caption]Memangnya apa yang perlu disombongkan? Walaupun tinggi hati dan sombong memang “dilarang”, mungkin ada baiknya kita memberikan sedikit—sedikit saja—kompromi untuk nakhoda yang satu ini karena ia adalah perempuan nakhoda pertama di Indonesia yang menakhodai kapal tanker. Apa hebatnya kalau perempuan menjadi nakhoda kapal tanker? Terlebih lagi, apa istimewanya Agustin Nurul Fitriyah? Semoga tulisan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Perjalanan Karier dan Tantangan dari Karen Agustiawan
Lahir dengan nama Agustin Nurul Fitriyah di Jember, tepat pada 17 Agustus 1980, pada awalnya Agustin tidak diberi izin oleh orang tuanya untuk menjadi pelaut. Pasalnya, pelaut identik dengan dunia laki-laki. Menjadi pelaut artinya berlayar berbulan-bulan bersama sekumpulan laki-laki. Tentu tidak berlebihan kekhawatiran orang tua Agustin. Mereka lebih suka kalau Agustin berkarier sebagai tentara atau polisi sebagaimana profesi sang ayah. Namun, tekad Agustin terlalu kuat untuk dipatahkan. Setelah berhasil lulus tes masuk Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang pada 1999, apalagi Agustin menuturkan cita-cita menghajikan kedua orang tuanya, orang tuanya pun memberikan restu.
Agustin menjalani pendidikan pelayaran selama empat tahun dan meniti karier sebagai perwira kapal. Pada 2007, ia bergabung dengan Pertamina. Pada waktu itu, atmosfer dalam sistem perusahaan tidak memungkinkan bagi perempuan untuk menjadi mualim 1—jabatan di atas kapal sebagai perwira di bawah kapten—apalagi nakhoda. Namun, sejak Karen Agustiawan menjadi direktur utama Pertamina, perempuan perwira kapal mulai dipertimbangkan untuk menjadi mualim 1, bahkan nakhoda. Kemudian, jabatan mualim 1 pun dipegang Agustin.
Dalam suatu kesempatan di Singapura, Agustin bertemu dengan Karen Agustiawan—ketika itu beliau masih menjadi direktur utama Pertamina—yang sedang dalam kunjungan kerja di sana. Saat itu Sang Direktur Utama menanyakan jabatan Agustin di kapal lalu menyemangati Agustin untuk menjadi kapten kapal. Ketika kemudian Pertamina kekurangan mualim 1 dan nakhoda, Agustin ditantang kaptennya untuk menjadi nakhoda. Merasa yakin bisa jadi nakhoda, Agustin pun meladeninya. Serangkaian tes dijalaninya. Sebagai perempuan satu-satunya calon nakhoda, Agustin bersaing dengan banyak laki-laki, termasuk senior-seniornya di kapal. Ternyata ia berhasil lolos dan terhitung menjadi nakhoda mulai 2013.
[caption caption="Kapal MT Merbau yang dinakhodai Kapten Agustin mengangkut BBM ke seluruh wilayah Indonesia | Dokumentasi Pribadi"]
[/caption]Menjadi nakhoda berarti harus mengetahui hal terkecil hingga terbesar di kapal—mulai dek hingga mesin—dan mengatur awak kapal. Nakhoda harus tahu pula hal-hal di luar kapal, misalnya cuaca, musim, arus laut dan sungai, cara menghindari tabrakan antarkapal, hingga mengatasi perompak. Jangan salah, perompak tidak hanya ada di dalam film atau dalam cerita masa lalu. Hingga sekarang pun perompak masih menjadi “hantu” bagi kapal, terutama kapal-kapal yang melintasi perairan perbatasan, baik perbatasan negara maupun pulau. Pun lengkap dengan cerita mistisnya.
Agustin bercerita pernah ada seorang perompak yang berhasil masuk ke suatu kapal, terkejar oleh tentara Angkatan Laut hingga di kamar mesin dan tertangkap. Namun, yang tertinggal dari perompak hanya bajunya, tubuhnya entah ke mana. Konon, hingga kini perompak tersebut masih hidup tapi tidak bisa jadi manusia lagi karena bajunya sudah diambil tentara Angkatan Laut tersebut. Selama berkarier di kapal, Agustin sendiri tidak pernah punya pengalaman bersinggungan dengan perompak.
Kapten Kapal yang Berkawan dengan Awak Kapalnya
Jangan membayangkan kehidupan di kapal yang dinakhodai Agustin ini melulu serius. Ketegasan memang terpancar jelas dari pembawaannya. Namun, di sisi lain Agustin supel dalam bergaul dengan awak kapal yang seluruhnya 26 orang dan terlihat masih muda-muda. Suasana yang terbangun rileks, penuh candaan. Tertawa bersama kapten kapal bukan hal yang canggung untuk dilakukan. Jadilah dalam sesi foto, wartawan media arus utama yang butuh foto bermimik serius sampai mengomandoi berkali-kali, “Serius, serius...” (Khusus buat Kompasiana, saya tampilkan foto yang penuh tawa bahagia saja ya).
[caption caption="Kapten Agustin akrab dengan awak kapal | Dokumentasi Pribadi"]
[/caption]Agustin memang menganggap awak kapal sebagai kawan, bukan bawahan. Hal itu terlihat dari interaksi mereka selama beberapa jam saya berada di sana. Pun dari sebutan Agustin kepada awak kapalnya dalam wawancara. Karena menganggap kawan pula, Agustin mengaku tak pernah bosan di kapal. “Begitu buka pintu kamar, yang ada kawan semua,” ujarnya dengan mata berbinar-binar. Berbeda halnya kalau ia sedang tinggal di rumah pribadinya di Perumahan Harapan Indah Bekasi, kadang-kadang dilanda kebosanan karena tidak ada kawan.