Lihat ke Halaman Asli

nurhanifahrizky

Menulis untuk menebar manfaat

Magang, Bersyukur atau Resign?

Diperbarui: 1 Juli 2019   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cnbcindonesia.com

Menjadi pegawai magang adalah tingkat kehidupan pekerja yang harus dilalui untuk menjadi "pegawai berpengalaman". Lulus tanpa pengalaman kerja tentu banyak dialami para sarjana, sementara lowongan yang terbuka belum mampu menyaingi jumlah pelamar. Lulus dengan bersertifikat pelatihan ini-itu, tentu menambah nilai jual, tapi tidak semua bisa diikuti. 

Ikut pelatihan pun butuh modal. Lulusan bersertifikat menjadi pesaing berat sesama freshgraduate yang tidak bersertifikat. Belum lagi, para pelamar berpengalaman  yang menambah suasana semakin kompetitif. Pelamar berpengalaman ini hadir untuk memperbaiki kehidupannya. Tentu saja, semua pelamar memiliki niat yang sama. 

Jujur saja, saat lulus yang memenuhi isi pikiran adalah status bekerja. Tidak ingin dicap pengangguran dan ingin memberikan jawaban saat ditanya kerja dimana. Pekerjaan apa pun asal sesuai latar belakang pendidikan akan dijabani. Gaji, sedikit wajar karena tidak berpengalaman. Setidaknya gaji masih bisa menutupi kebutuhan harian. Begitulah awalnya para pencari kerja.

Setelah diterima kerja, rasa syukur mengiringi langkah setiap hari. Semangat menggebu dan jiwa muda serta impian masa depan seakan sudah dekat. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Namanya juga magang, masih junior, belum berpengalaman. Apa-apa ya harus nurut, apa-apa ya harus patuh, apa-apa ya dikerjakan. Awalnya, lelah ini terasa nikmat. Terlebih jika mendengar teman lain masih ada yang belum dapat kerja.

Seiring berjalan waktu, jika magang tetaplah magang, jika kontrak tetaplah kontrak, atau jika junior tak kunjung menjadi senior. Lelah ini semakin mencapai titik jenuh. Lelah fisik mampu ditahan, tapi lelah hati? siapa yang sanggup menahan. Kata-kata sabar dan semangat serta elusan dada menajdi pengiring langkah setiap kali berangkat kerja. Bertanya pada teman lain ternyata magang dimana-mana tidak jauh berbeda. Tetapi teman lain ternyata lebih beruntung, dia sudah menjadi pegawai tetap, sudah memiliki junior. Hidup memang sulit untuk tidak melihat ke atas.

Di tengah kejenuhan, perlahan masuk niat untuk resign. Upaya ditengah kejenuhan adalah mencari informasi lowongan kerja yang mumpuni. Akankah jika resign dapat menyelesaikan masalah? Tentu saja logika harus tetap berjalan, bukankah setelah resign dan masuk kerja yang baru, status akan kembali magang? Lalu bisikan optimis lain, setidaknya sudah menjadi pelamar berpengalaman. Berharap ada CPNS. Setelah CPNS ada, ternyata belum diberi kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil.

Haruskah menikah saja? atau lanjut pendidikan ke jenjang berikutnya. Bukannya solusi yang didapatkan justru menambah beban pikiran. Keduanya butuh modal besar. Untung-untung ada yang melamar dan sesuai kriteria, bagi perempuan. Untung-untung ada wanita yang mau diajak susah, bagi lelaki. Tapi zaman sekarang tidak ada yang mau hidup susah. Menikah tidak serendah itu untuk dijadikan alasan beralih dari masalah. Lanjut pendidikan untuk beasiswa, besar harapan lolos. Ternyata tidak. Minta pada orangtua, malu. Memberi saja masih sering absen, bagaimana mungkin meminta.

Akankah resign atau bertahan dan bersyukur?

Quote yang sering muncul di pikiran, "Jalani saja dengan ikhlas".

Jika hidup benar seperti roda pedati, suatu saat akan berada di atas.
Tetapi jika roda pedati sedang terjerumus di dalam kubangan, akankah yang di bawah mampu mencapai atas?

Biar semesta yang menjawab. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline