Orang tua yang bercerai merupakan penderitaan pada masa kanak-kanak yang berkontribusi pada buruknya kesehatan mental anak, terlebih lagi jika terdapat kekerasan pada anak. Sekalipun perceraian secara baik-baik dan terbuka, anak-anak tetap mengingat perpisahan orangtua dengan perasaan emosi sebagaimana korban bencana alam seperti kehilangan,berduka, dan mudah terluka, yang semuanya terjadi di luar kontrol mereka.
Dampak perceraian pada anak tergantung beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, hasil dari perceraian, kualitas hubungan anak dan orangtua selama dan setelah perceraian. Tulisan kali ini memaparkan bagaimana dampak perceraian terhadap perasaan dan perilaku anak berdasarkan usianya.
Bayi
Berdampak pada berkurangnya pengasuhan
Sifat rewel meningkat
Gangguan makan, tidur dan eliminasi (BAK/BAB)
Terganggu dengan proses perceraian, anak dipisah dengan orangtua)
Prasekolah dini (Usia 2 sampai 3 tahun)
Ketakutan dan kebingungan
Menyalahkan dirinya sebagai penyebab perceraian
Takut akan ditelantarkan
Sifat rewel, meraung-raung dan marah tidak jelas menjadi meningkat
Menunjukkan perilaku regresif (menghisap jempol, mengompol atau tidak dapat mengontrol BAK/BAB walau sedang tidak tidur)
Cemas akan perpisahan
Prasekolah lanjut (Usia 3 sampai 5 tahun)
Takut akan ditelantarkan
Menyalahkan dirinya sebagai penyebab perceraian: rasa percaya diri menurun
Mengalami kebingungan pada semua hubungan manusia
Menjadi lebih agresif saat berhubungan dengan orang lain (saudara atau teman sebaya)
Membangun fantasi untuk memahami perceraian
Usia sekolah dini (usia 5 sampai 6 tahun)
Depresi dan perilaku immatur
Hilang nafsu makan dan gangguan tidur
Kemungkinan mampu mengungkapkan perasaan dan memahami beberapa perubahan akibat perceraian
Rasa cemas dan agresif meningkat
Perasaan ditelantarkan dari salah satu orang tua
Usia sekolah menengah (usia 6 sampai 8 tahun)
Muncul reaksi panik
Perasaan kehilangan, seperti kehilangan orang tua, perhatian, uang, dan jaminan masa depan
Kesedihan yang sangat mendalam, depresi, takut, dan merasa tidak aman
Perasaan ditelantarkan dan ditolak
Takut akanmasa depan
Sulit mengekspresikan kemarahan pada orangtua
Berupaya intensif mendamaikan orangtua
Gangguan kemampuan bermain dan tidak menikmati aktivitas di luar rumah
Penurunan kemampuan belajar di sekolah
Perubahan hubungan dengan teman sebaya, seperti menjadi bos, mudah marah, banyak menuntut dan manipulatif
Sering menangis hilang nafsu makan dan gangguan tidur
Rutinitas terganggu dan mudah lalai
Usia sekolah akhir (usia 9 sampai 12 tahun)
Lebih realistis dalam memahami perceraian
Sering menunjukkan kemarahan secara langsung pada salah satu atau kedua orangtua
Kesetiaan terbagi
Mampu mengekspresikan perasaan marah
Merasa malu atas perilaku orangtua
Berkeinginan untuk balas dendam, berharap dapat menghukum orangtua agar orangtua lebih bertanggungjawab
Merasa kesepian, penolakan dan ditelantarkan
Perubahan hubungan dengan teman sebaya
Penurunan kemampuan belajar di sekolah
Kemungkinan berkembang sifat mengeluh somatik
Kemungkinan muncul perilaku menyimpang seperti menipu, mencuri
Tempertantrum
Sikap diktator
Remaja (usia 12 sampai 18 tahun)
Mampu memisahkan dirinya dengan konflik orangtua
Perasaan kehilangan yang mendalam atas keluarga dan masa kanak-kanak
Perasaan cemas
Khawatir pada diri sendiri, orangtua dan saudaranya
Mengekspresikan kemarahan, kesedihan, malu dan dipermalukan
Kemungkinan menarik diri dari keluarga dan teman sebaya
Gangguan konsep seksual
Kemungkinan muncul perilaku berpura-pura atau sikap palsu
Bagaimana, adakah usia yang menurut Anda terburuk atau terbaik untuk melakukan perceraian? Tulisan ini tentu tidak ingin mendukung terjadinya perceraian atau memilih waktu yang tepatuntuk bercerai, bukan, bukan itu tujuannya. Apa pun alasan bercerai, bagaimanapun proses perceraian akan selalu berdampak negatif pada anak. Adanya pemaparan dampak percerairan pada usia anak merupakan bentuk informasi untuk antisipasi yang harus dilakukan jika perceraian benar-benar tidak dapat dihindarkan.
Walaupun (semoga tidak) sedang mengurus perceraian, perubahan sikap anak tetap harus dipahami. Jangan sampai perubahan sikap anak justru dianggap menambah masalah karena perceraian sudah sangat menyita perhatian ditambah lagi anak yang tidak bisa kooperatif. Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, sama halnya dengan anak, tidak ada sekolah untuk menjadi anak, kecuali orang tua tu sendiri yang mengajarinya. Semoga keluarga kita senantiasa harmonis. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H