Lihat ke Halaman Asli

nurhanifahrizky

Menulis untuk menebar manfaat

Razia Buku, Semakin Dilarang, Semakin Menantang

Diperbarui: 17 Januari 2019   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Razia buku yang dilakukan oleh aparat TNI memang sudah diakui memiliki kesalahan teknis dalam melakukan prosedur razia, hal ini telah diakui oleh Kapuspenkum TNI, Brigjen TNI Sisriadi di acara Mata Najwa. Pengakuan tesebut tentu perlu diapresiasi, karena ini merupakan kejadian yang langka. Tetapi alangkah semakin apik lagi apabila ada tindak lanjut dari pengakuan yang telah mendapat apresiasi berupa tepuk tangan dari penonton siaran Mata Najwa itu.

Sebagaimana umumnya ada larangan, akan timbul "anak-anak muda" yang ingin melakukan "pelarangan" tersebut. Misalnya, dilarang merokok toh masih tetap saja banyak yang merokok. Dilarang melanggar lampu merah, masih banyak kita jumpai pengendara-pengendara yang melanggarnya. Begitu pun larangan-larangan lain yang masih banyak peminat pelanggarnya. Uji nyali, alasan klasik kata sebagiannya.

Perihal razia buku yang kemudian memberikan pernyataan bahwa adanya buku-buku yang terlarang dan beredar. Maka tentu ada kemungkinan "anak-anak muda" sebagaimana yang biasa dilakukan dalam pelanggaran "larangan", harusnya semakin gencar membaca buku-buku yang dinilai "terlarang" itu. Walaupun bahkan Kejaksaan sendiri mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya tidak punya kapasitas dalam menilai buku. Artinya buku-buku tersebut belum tentu masuk ke dalam kategori "buku terlarang".

Menjadi menarik, jika kita menganalisa kenapa buku-buku yang bermuatan PKI atau gerakan-gerakan orang kiri itu berpotensi dilarang. Apakah dengan membaca buku-buku itu akan membuat pikiran pembaca menjadi "ke-kiri-an"? Tentu untuk hasil pemikiran pembaca atas tafsir buku yang dibacanya tidak bisa dijaga atau dikontrol oleh siapa pun.

Atau memang ada upaya untuk menutup-nutupi sejarah? Tentu saja ini pertanyaan yang sangat tidak bijak. Tapi pertanyaan itu muncul sebab buku-buku tersebut adalah buku yang memaparkan realita sejarah, bukan berisi pemaksaan ideologi atau doktrin yang sifatnya hanya berupa asumsi. Sehingga patut untuk dilarang peredarannya.

Bukankah fenomena ini sudah cukup memicu kita untuk semakin berkeinginan mendapatkan buku-buku tersebut. Bahkan saya yakin beberapa buku diantaranya telah dibaca oleh pembaca kompasiana. Jika belum maka mari kita temukan buku-buku tersebut. Masih tersedia di toko-toko buku besar maupun toko buku kecil, bahkan di lapak-lapak buku tak kasat mata.

Saya yakin pihak pedagang buku tidak serta merta melenyapkan buku-buku yang masuk dalam daftar razia buku tersebut, bahkan mungkin akan mencetaknya lebih banyak lagi. Sebab razia buku ini ternyata memiliki potensi sebagai promosi buku secara "gratis". Terlebih lagi ternyata buku-buku tersebut belum terbukti sebagai buku terlarang. Seandainya pun nantinya ada buku-buku yang terbukti masuk ke dalam "buku terlarang" maka saya rasa sebagian akan menjadi "keren" karena pernah membacanya bahkan pernah atau sempat memiliki bukunya (jika kemudian ada pemaksaan untuk disita).

Tapi yang menjadi keanehan adalah respon orang-orang awam terkait razia buku ini yang sangat beragam. Lha wong kita ini jarang baca eh malah buku di razia. Gaul dengan buku saja jarang, tapi kok ya tidak razia buku-buku "palsu" saja yang jelas-jelas melangar hak cipta. Eh tapi nanti buku semakin untuk kalangan elit saja yah, habis buku mahal sih. Membaca daftar buku-buku yang masuk razia ini juga ya karena berita ini, sebelumnya juga tidak begitu paham itu komunis dan PKI.

Apa sih yang kita pahami terkait komunis dan PKI? Pembantaian yang tidak berperikemanusiaan? Pelanggaran hak asasi manusia yang massif saat itu? Saat itu, ya saat itu dan penting untuk dipahami sampai saat ini. Sebab pelanggaran hak asasi sampai saat ini pun masih berlanjut. Lantas kenapa realita sejarah yang wajib dan kudu dipahami setiap warga negara yang "mengaku" berjiwa NKRI malah dibatasi sumber bacaannya. Bagaimana mau memahami negara ini secara kaffah? Tapi jika pun buku-buku itu tidak dilarang apakah akan dibaca? Dilirik saja ya belum tentu. Apakah bentuk "larangan" kali ini akan semakin meningkatkan "nyali" untuk melanggarnya? Wallahu'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline