Medan maupun Jogja memiliki adat budaya yang "berlawanan". Batak dan Jawa seringkali dijadikan contoh-contoh dalam berperilaku yang paling kontras, namun kedua suku ini banyak loh yang berjodoh. Artinya, walaupun "berlawanan" bukan berarti tidak tidak bisa berselaras. Kalau Anda orang Medan atau berasal dari Sumatera Utara, cobalah main-main ke Jogja. Begitu pun sebaliknya. Mungkin bagi yang sudah pernah, Anda akan menyadari perihal klakson dan dunia budaya perlalu-lintasan ini.
Setibanya di Jogja, sehari-dua hari Anda akan merasakan keteraturan atau budaya berlalu lintas yang sulit ditemukan di Medan. Di lampu merah, semua pengendara akan berhenti tepat di belakang garis.
Oh iya, disini jarang sekali ditemukan garis khusus kendaraan bermotor roda dua, tetapi adanya khusus sepeda. Nah, garis khusus sepeda ini pun akan dikosongkan baik oleh pengendara motor atau mobil. Walaupun sepanjang jalan tadi tidak ditemukan pengendara sepeda. Tetap saja itu adalah hak pengendara sepeda.
Di Medan? Ada, tetapi hanya beberapa pengendara saja yang sadar akan garis-garis ini. Bahkan saat jam-jam sibuk seperti pagi atau sore, semua kendaraan seakan ingin menjadi yang "terdepan". Walaupun ada polisi, keinginan untuk menjadi "terdepan" pantang surut. Hanya jika polisi benar-benar menjaga garis saja maka pengendara akan sedikit bersahabat dengan garisnya.
Di Medan ini, garis atau area khusus pengendara motor seringkali diambil alih oleh mobil-mobil. Nah, kendaraan motor dimana? Ya, di depannya lagi. Zebra cross. Tidak ada garis khusus untuk pengendara sepeda, karena memang sulit menemukan pengguna sepeda. Ada, tentu saja ada beberapa. Lalu bagaimana si pejalan kaki? Ya jalan saja, jalan di sela-sela kendaraan atau jalan dimana saja asal selamat.
Perihal klakson, pengendara-pengendara di Medan sangat "bersahabat" dengan tombol kecil yang satu ini. Di lampu merah, saat detik-detik 5, 4, 3, menuju hijau, artinya belum hijau, beberapa pengendara akan membuktikan bagaimana eratnya persahabatannya dengan si klakson tadi. Motor atau mobil, tidak ada bedanya.
Perhitungan pengendara di Medan juga bisa dibilang baik. Misalnya, di perempatan. Tentu akan ada selisih sekitar 2 detik antara lampu merah dari sisi yang hijau menuju merah dan dari sisi merah menuju hijau. Jika sisi seberang sudah merah, maka sisi ini akan segera hijau. Tentu saja kesempatan ini tidak akan disia-siakan. Tentu saja, perihal lampu merah ke hijau ini perlu diingat dan diamati dengan seksama sebelum Anda benar-benar siap menjadi "terdepan". Ingat ya, ini bukan pelajaran dan tidak untuk ditiru.
Lain halnya dengan pengendara di Jogja. Di lampu merah, suara klakson terdengar langka. Tapi, di beberapa lampu merah tentu satu dua pengendara ada saja yang menyalakan klakson. Tetapi budaya lalu lintas dengan klakson ini sangat berbeda dengan di Medan. Bahkan pengendara yang ingin mendahului sangat jarang sekali menggunakan klaksonnya untuk meminta pengendara di depan agar menepi ke kiri.
Saya pernah beberapa kali kaget karena tiba-tiba ada mobil dari arah kanan yang ingin mendahului tanpa aba-aba. Mobilnya mulus dan terlihat mahal, seandainya saat itu saya tidak lekas-lekas ke kiri mungkin saya sudah meninggalkan jejak di mulusnya badan mobil.
Seandainya saat itu ada kendaraan di sisi kiri saya, mungkin juga akan meninggalkan jejak di tubuh saya dan pengendara lain. Dalam hati saya berkata, "terkadang klakson memang dibutuhkan untuk hal ini". Setidaknya untuk bersiap-siap. Kebanyakan pengendara di Jogja yang ingin mendahului akan pengendara lain tetapi tidak ingin membunyikan klakson, akan sabar menunggu pengendara di depannya untuk menepi.
Di Jogja, banyak wisatawan yang menggunakan jasa penyewaan kendaraan motor untuk menikmati sudut-sudut kota. Sebagaimana wisatawan tentu saja belum hapal jalan dan sering celingak-celinguk memandang ke kiri dan kanan. Saya pun sering begitu. Tetapi disini jarang sekali ada yang menyalakan klakson atau menegur agar si wisatawan ini menepi karena kecepatan kendaraannya yang terbilang lambat.