Ketegangan di Asia Timur semakin meningkat setelah Korea Utara melakukan serangkaian uji coba rudal jelajah bermuatan nuklir pada Kamis, 12 September 2024. Uji coba ini mengundang respon yang buruk dari negara-negara tetangganya, terutama Korea Selatan dan Jepang. Keduanya merespons dengan memperkuat kerja sama militer bersama Amerika Serikat untuk mengantisipasi ancaman perang nuklir yang semakin nyata. Penguatan aliansi militer ini justru membawa kawasan Asia Timur ke dalam sebuah paradoks keamanan, di mana upaya untuk meningkatkan pertahanan malah memperbesar risiko eskalasi konflik, bahkan mungkin menuju perang nuklir.
Uji Coba Rudal Korea Utara dan Reaksi Korea Selatan-Jepang
Pada 12 September 2024, Korea Utara kembali menguji rudal jelajah yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir. Ini bukan pertama kalinya Pyongyang melakukan provokasi semacam ini, dan intensitas dan frekuensi uji coba nuklir mereka semakin meningkat. Uji coba ini kemungkinan besar bertujuan untuk menunjukkan kekuatan militer Korea Utara sekaligus mengirimkan pesan kepada dunia, terutama Amerika Serikat, bahwa mereka siap menghadapi segala bentuk tekanan atau serangan. Beberapa analis ahli mengatakan bahwa langkah ini mungkin terkait dengan upaya untuk mempersiapkan pasokan senjata nuklir bagi Rusia dalam konflik Ukraina, meskipun hal ini belum dapat diverifikasi.
Reaksi dari Korea Selatan dan Jepang sangat keras. Kedua negara mengecam uji coba nuklir dan meningkatkan siaga militer dengan melibatkan Amerika Serikat dalam konsultasi keamanan untuk meningkatkan pertahanan kolektif mereka. Korea Selatan memperkuat sistem pertahanan rudal THAAD yang telah dipasang di wilayahnya, sementara Jepang masih mempertimbangkan langkah lebih lanjut untuk mempercepat pengembangan pertahanan misil nya.
Penguatan Aliansi Untuk Menjaga Perdamaian atau Memicu Konflik?
Aliansi yang semakin diperkuat oleh Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat dirancang untuk melindungi dari ancaman Korea Utara. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama kedua negara ini, terus menyediakan teknologi dan bantuan militer untuk membantu memperkuat pertahanan mereka. Di bawah nuclear umbrella AS, baik Korea Selatan maupun Jepang merasa dilindungi dari kemungkinan serangan nuklir Korea Utara (Roehrig, 2019).
Di sisi lain, penguatan aliansi ini menimbulkan kekhawatiran. Peningkatan kekuatan militer oleh Korea Selatan dan Jepang, dengan dukungan AS, memicu reaksi defensif dari Korea Utara. Alih-alih membawa stabilitas, memperkuat aliansi keamanan justru memperparah siklus provokasi. Korea Utara merasa semakin terancam, sehingga meningkatkan aktivitas militernya, termasuk melakukan uji coba rudal nuklir.
Sukin & Dalton dalam studi mereka menegaskan bahwa ketergantungan pada aliansi dengan Amerika Serikat bisa memperburuk dilema keamanan. Dalam kasus ini, penguatan aliansi militer di Asia Timur menciptakan kondisi di mana setiap peningkatan dalam pertahanan memicu reaksi keras dari Korea Utara, yang merasa perlu mempertahankan diri, termasuk meningkatkan kapabilitas nuklir mereka (Sukin & Dalton, 2021).
Dilema Counterforce: Ancaman Konflik Nuklir yang Makin Nyata
Salah satu isu paling kritis di Asia Timur saat ini adalah dilema counterforce. Situasi dalam strategi militer di mana satu negara mengembangkan atau menggunakan senjata yang dirancang untuk menargetkan dan menghancurkan kemampuan nuklir negara lain sebelum senjata tersebut dapat diluncurkan. Masalahnya, ketika satu negara meningkatkan kapabilitas counterforce (seperti senjata presisi tinggi atau sistem pertahanan rudal), negara yang menjadi target (misalnya, Korea Utara) merasa lebih terancam dan cenderung meningkatkan kemampuan nuklirnya sebagai langkah defensif. Ini menciptakan ketegangan dan risiko eskalasi, karena negara yang merasa terancam mungkin akan meluncurkan serangan nuklir lebih awal untuk mencegah serangan counterforce dari pihak lain.
Dilema counterforce terjadi ketika negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang mengembangkan senjata konvensional yang dapat menghancurkan infrastruktur nuklir Korea Utara. Senjata konvensional ini, meskipun bertujuan meningkatkan keamanan, tetap akan membawa risiko besar. Jika senjata tersebut digunakan dalam krisis, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, Korea Utara mungkin merasa terdesak untuk meluncurkan serangan nuklir lebih dulu sebagai langkah pencegahan. Situasi ini membuat dilema counterforce berbahaya, karena penggunaan senjata konvensional dapat memicu eskalasi yang cepat menuju perang nuklir.