Lihat ke Halaman Asli

Nurhaliza Damayanti

Mahasiswa Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Sulitnya Membuktikan Kekerasan Verbal dan Psikis dalam Kasus KDRT

Diperbarui: 2 Januari 2023   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image source by Melissa Chapman on Pinterest

Kekerasan Dalam Rumah Tangga perlu mendapat perhatian khusus dewasa ini. Pada tahun 2022 sampai dengan bulan Oktober, KemenPPPA ada 18.261 kasus di Indonesia dimana 79,5% dari korban adalah perumpuan dan sisanya adalah laki-laki. Dari data tersebut menunjukan bahwa KDRT tidak hanya dialami oleh perempuan tapi juga dialami oleh laki-laki. Umumnya, lingkup KDRT yang diadukan meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.

Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 

Dari data seperti yang tercatat diatas, masih banyak perempuan maupun laki-laki di luar sana yang mengalami KDRT namun enggan melapor dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah mengenai dianggapnya membuang waktu dan biaya. Selain itu, dalam proses beracara pembuktian kerapkali menjadi hambatan untuk korban. Mengenai  alat bukti sebenarnya sudah diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, satu saksi dengan disertai satu alat bukti lainnya sudah cukup. Tapi, seringkali penegak hukum menganggap bahwa satu alat bukti saja tidak cukup.

Sulitnya membuktikan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tanggal inilah yang membuat banyak orang memilih untuk tidak melapor dan memendam permasalahannya sendiri. Terutama apabila yang terjadi merupakan kekerasan psikis. Jika terjadi kekerasan fisik, untuk membuktikan terjadinya kekerasan itu harus dilakukan visum. Namun, jika terjadi kekerasan psikis bagaimana cara membuktikannya jika analisis psikologi masih belum menjadi alat bukti yang sah selain itu rekaman juga dapat dijasikan bukti dalam kasus kekerasan psikis. Padahal mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga adalah korban kekerasan psikis.

Dalam kasus kekerasan psikis seperti yang terjadi oleh Valencya dalam Putusan Nomor 335/Pid.Sus/2021/PN Kwg dijelaskan bahwa sang suami kerapkali melakukan kekerasan secara verbal dan psikis kepada Valencya dan juga anaknya. Kekerasan yang dilakukan oleh suaminya itu membawa dampak negatif bagi Valencya yang membuat dirinya mengalami kondisi stress berat sehingga berdampak pada munculnya insomnia, sering menangis, mood negatif sepanjang hari dan merasa tidak bahagia berbulan-bulan. Keterangan ini didapatkan menurut hasil pemeriksaan Psikologis oleh Nuram Nubina, M.Psi tanggal 16 Oktober terhadap Valencya. Namun, pada akhirnya sang suami dinyatakan tidak bersalah karena tidak terbukti secara sah.

Dari kasus tersebut, menggambarkan secara jelas bahwa pembuktian kekerasan dalam rumah tangga secara psikis masih menjadi momok dalam proses peradilan acara pidana di Indonesia. Karena hal itu lah kekerasan dalam rumah tangga terutama kekerasan yang dilakukan secara verbal sehingga mampu mempengaruhi kondisi psikis korban perlu menjadi perhatian kusus tidak hanya oleh penegak hukum di Indonesia tapi oleh semua kalangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline