Lihat ke Halaman Asli

Andi Nur Fitri

Karyawan swasta

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai Takaran Kemanusiaan Pemda

Diperbarui: 20 Februari 2019   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image result for sustainable development goals(www.globalgoals.scot)

Hujan masih mengguyur kota Makassar dan sekitarnya. Dinihari tanggal 22 Januari 2019, dimulai sekitar pukul 02.00 WITA dan berlanjut ke tanggal 23 pagi, hujan masih terus turun. Hujan kali ini mungkin membangunkan sebagian besar warga dengan perasaan was-was. Kapasitas hujan dua hari ini memang tak seperti biasanya, intensitasnya sangat deras, hanya beberapa menit berhenti, kemudian hujan kembali.

Tak ayal sebagian besar wilayah Makassar dan beberapa kabupaten penyangga dilanda banjir. Peringatan agar warga berhati-hati dan lebih baik tinggal di rumah oleh pemerintah setempat dikeluarkan. 

Anak-anak sekolah diliburkan. Makassar dan sekitarnya dalam status siaga bencana banjir. Jalan-jalan protokol dan beberapa kompleks perumahan, tempat ibadah, sarana-prasarana lainnya terdampak  banjir. Untuk menghindari gangguan aliran listrik, dalam beberapa jam pasokan listrik di Kota Makassar dan sekitarnya dipadamkan. 

Mencermati media sosial dan media mainstream mewartakan keadaan Makassar, mayoritas menampilkan keadaan banjir tersebut. Baik di lingkungan sendiri, ataupun me repost  ulasan selainnya. 

Awal tahun 2019, tampaknya tidak terlalu bersahabat dengan kota ini dan beberapa kabupaten sekitarnya. Makassar yang sedang berlari menuju Kota Dunia, Kota Masa Depan, dan Kota Pintar, diterpa badai. Sebuah ujian bagi maksimalitas kota Metropolitan sekelas Makassar.

Ada pemandangan yang menarik saya cermati dalam peristiwa banjir tersebut, yaitu munculnya atau mengalirnya sampah-sampah. Terlihat jelas dari limpahan air banjir yang menumpah di kompleks-kompleks perumahan terikut pula botol-botol minuman plastik, kemasan makanan ringan, kardus-kardus dan lain sebagainya. Mayoritas sampah-sampah menggenang tersebut adalah plastik, seperti menari-nari dan berenang di air tersebut.

Lain Makassar, lain pula Kabupaten Wakatobi. Bulan November tahun 2018, seekor ikan paus terdampar mati di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bertepatan dengan sesi saya untuk memfasilitasi sebuah  kegiatan peningkatan kapasitas di kalangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 

Saya terhenyak, ketika menyaksikan sebuah stasiun televisi swasta memberitakan seekor ikan Paus terdampar mati yang ditengarai akibat bahaya dampak limbah plastik yang ia konsumsi dari laut. Tercatat 5,9 kg kemasan plastik ditemukan dalam perut ikan tersebut.  

Dua kejadian ini menghentakkan kesadaran saya. Betapa mungkin bumi tak lagi ramah kepada manusia yang menempatinya. Lantas, apa yang keliru dan apakah hubungannya dengan perilaku kita selama ini? Dalam Islam---sebagai agama yang saya yakini---Tuhan sudah memperingatkan bahwa "zhahara alfasaadu fii albarri waalbahri bimaa kasabat aydii an-naasi liyudziqahum ba'da al-ladzii 'amiluu la'allahum yarji'uun", Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. (Ar-Rum 30:41)

Ayat di atas menjelaskan bahwa al-fasaad atau kerusakan disebabkan oleh perbuatan manusia. Al-ashfahaani dalam Maqaayis menjelaskan bahwa Zhahara diartikan sebagai sesuatu yang nampak, atau jika menyangkut sebuah kejadian, kata tersebut berarti sesuatu yang terjadi di permukaan bumi. 

Berbeda dengan bathana yang berarti tidak tampak dan sesuatu yang terjadi di perut bumi. Kata ini merupakan antonym dari zhahara. Sementara itu alfasaad atau kerusakan dijelskan sebagai imbalance atau ketidakseimbangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline